BUKU hijau yang disinggung film ini adalah “kitab” kompilasi bekal wawasan perjalanan yang nyaman bagi pelancong berkulit gelap di AS. Buku ini makin relevan dan berguna buat menemani perjalanan ke AS bagian selatan era 1960an karena berisikan lokasi-lokasi akomodasi, restoran, dan sejenisnya yang dapat dikunjungi orang berkulit gelap.

Di film ini, perjalanan yang berbekal buku ini adalah Tony Lip, sopir (Italia-Amerika) yang sedang mengantarkan Dr Don Shirley, pianis berbakat berkulit gelap, dalam menjalani tur musik di berbagai daerah di AS selatan selama 8 minggu menjelang Natal.

Dulu saya sempat menonton Driving Miss Daisy yang mudah sekali terasosiasikan terhadap film ini, tapi sayangnya film itu tak cukup berkesan bagiku sehingga tak ada memori momen-momen dalam film itu yang seketika bisa saya “panggil”. Green Book ini mungkin saja senada dengan film itu, tapi bisa saya bilang bahwa interaksi sopir-majikan beda ras ini lebih terasa dekat, alami, dan mudah dipercaya. Ini semua utamanya berkat olah pemeranan dari kedua pemeran: Viggo Mortensen dan Mahershala Ali yang dedikatif dan eksploratif terhadap figure-figur yang memang nyata. Interpretasi yang mereka pancarkan dalam tiap-tiap adegannya sangat sesuai dengan keperluan dialogis plot yang ada. Mereka berdua memang layak masuk nomine Aktor Utama Terbaik (untuk Viggo) dan Pendukung (Mahershala) dalam Oscar 2019. Selain faktor olah peran yang jempolan, ikatan kimiawi duo dinamis ini ditopang pula oleh kekuatan simpul plot yang diperkuat kumpulan dialog yang cerdas.

Yang membuat saya takjud dari film ini adalah ia dibrojolkan oleh strada yang selama ini sama sekali tak diperhitungkan, Peter Farelly (Dumb And Dumber). Ini terang satu lompatan yang besar karena menonton film ini semacam dapat suguhan yang tak biasa ia kreasikan. Memang dari segi humornya masih sedikit tertuding adanya titik-titik kebocoran halusnya dari formula dramedi yang biasa ia kreasikan, namun secara keseluruhan Green Book bukanlah suatu produk yang saya kira bakalan dihadirkan si Peter ini. Salut!!!

Ritme babak awal yang terasa kurang santai, tetap bisa diikuti karena dengan melihat poster dan baca sinopsisnya penonton bisa secara otomatis mengabaikan karakter-karakter pendukung selain yang diperankan Viggo dan Mahershala. Ketika mereka berdua muncul dalam satu bingkailah alam sadar kita secara sengaja mulai mencengkeram plot dan untungnya proses lepas landas film ini dalam membuntuti perjalanan semobil berdua di babak-babak berikutnya terasa mulus dan nyaman. Ini membuat atensi kita sebagai penonton dengan mudahnya terserap pada interaksi dalam berbagai situasi dan kondisi antara Tony Lip dan Don (sopir putih dan majikan hitamnya).

Seluruh jurus dramatis yang bisa diaplikasikan untuk interaksi duo-dinamis ini saya rasa telah tersajikan secara pas. Tak terasa adegan repetitif dan masing-masing amunisi ditembakkan pada saat-saat yang tepat. Beberapa pesan humanis argumentatifnya pun jitu mengenai sasaran. Kombinasinya terjalin dalam transisi untaian plot yang mulus.

Saya sepakat dengan masyarakat BAFTA dan Akademi untuk memilih film ini jadi salah satu nomine film terbaik. Walaupun secara sinematik film ini tak menawarkan kebaruan dan kesegaran, sungguh film ini berjaya dalam mereproduksi kisah persahabatan yang interaksi manusiawinya siap sedia selimuti hati sekaligus pikiran penontonnya. Inilah salah satu film dengan aura persahabatan di atas layar perak yang mudah dikenang. (ila)

*Penulis adalah penggemar film dalam negeri dan penikmat The Chemical Brothers yang bermukim di Jogja Utara.