JOGJA – Bahaya narkotika giliran menjadi topik yang dipilih oleh Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah DIJ. Kali ini dalam sebuah bedah buku bertajuk ‘NAPZA, Ancaman, Bahaya, regulasi dan Solusi Penanggulangannya’. Isi buku karya Aulia Fadhli ini dibongkar di Pendopo Kecamatan Danurejan, Jumat (1/3).

Kepala Seksi Farmasi Dinas Kesehatan DIJ Suharyanto menyambut baik kegiatan ini. Menurut dia edukasi narkotika wajib dilakukan dengan berbagai cara. Tujuannya agar kampanye stop penyalahgunaan narkotika bisa terserap oleh warga.

“Beberapa jenis obat yang disalahgunakan sebenarnya jenis obat farmasi. Tapi diselewengkan sehingga sangat berbahaya bagi yang mengonsumsinya,” jelasnya.

Penyalahgunaan, lanjutnya, berawal dari konsumsi melebihi dosis. Dalam berbagai kasus, pelaku tidak mengindahkan resep dari dokter. Bahkan adapula pelaku yang mengonsumsi obat keras tanpa resep dokter.

Dia mencontohkan obat batuk kering Dextromethorphan. Cara kerja obat ini adalah menekan syaraf central. Alhasil intensitas batuk kering bisa berkurang.
“Adapula obat yang sifatnya depresan memberikan rasa rileks saat depresi.

Harusnya konsumsi normal lima sampai 10 miligram, tapi penyalahguna melebihi ini. Alasannya untuk mendapatkan efek yang diinginkan,” ujarnya.
Sang penulis, Aulia Fadhli, mengaku ada banyak tantangan dalam menulis buku. Tidak hanya sekadar mengkaji perilaku penyalahgunaan namun juga regulasi. Lemahnya pengawasan, lanjutnya, menjadi gerbang munculnya penyalahgunaan obat-obatan psikotropika.

Dalam buku ini dia juga menuliskan sejarah panjang penyalahgunaan narkotika. Dia juga mengulas Indonesia sebagai potensi besar transaksi narkotika. Dalam beberapa kasus, bandar luar negeri telah menjadikan Indonesia sebagai pasar empuk.

Salah satu temuannya adalah tingginya angka permintaan. Berbeda dengan luar negeri, harga pasaran di Indonesia justru tinggi. Inipula yang membuat para bandar dan pengedar tak beralih dari Indonesia. “Indonesia saat ini masih dianggap ladang empuk peredaran narktoika. Regulasi juga belum hebat dalam menurunkan angka peredaran. Satu lagi, di Indonesia harga berapapun tetap dibeli, ini yang membuat bandar dan pengedar betah,” jelasnya. (**/dwi/pra/mg2)