JOGJA – Wacana restorasi atau pengembalian pojok beteng Gondomanan membuat resah warga yang tinggal di sana. Meski mengakui tanah yang dihuni saat ini merupakan magersari atau tanah milik Keraton Jogja, tapi mereka berharap ada kompensasi. Karena warga tidak memiliki rumah tinggal selain magersari tersebut.
Radar Jogja berhasil menemui salah satu warga sepuh pemegang kekancingan magersari. Ngadirah Karso Wiyono, 90, telah menghuni magersari sejak 1971. Nenek 25 cucu ini merasa keberatan, karena sudah nyaman tinggal di kawasan itu. “Kalau saya inginnya tinggal di sini saja karena sudah nyaman. Kok mau diminta itu mau dibangun apa?” katanya ditemui di kediamannya di RT 27 RW 18 Panembahan Kraton Senin (4/3).
Ngadirah sadar status tanah yang dihuninya adalah milik Keraton. Hanya saja dia meminta ada kejelasan, karena bangunan yang ditinggalinya saat ini adalah rumah satu-satunya. “Saya mau tahu dulu, ini (pemugaran beteng bastion Gondomanan) dari pemerintah atau Keraton. Kalau saya nderek Ngarso Dalem (Raja Keraton Jogja) saja,” ujarnya.
Sang anak, Soniwati, 55, mengungkapkan Ngadirah sempat syok. Pembangunan tersebut menjadi dilematis baginya. Ibu tiga anak ini mengakui tanah tempatnya tinggal adalah situs bersejarah. “Ya bagaimana, mau tidak mau harus ikut keputusannya juga. Tapi mohon kebijaksanaan juga karena kami juga butuh kepastian rumah tinggal jika harus pindah,” pintanya.
Perempuan paroh baya ini memang lahir dan besar di tanah magersari sejak 1964. Dia mengungkapkan pemegang kekancingan rata-rata telah beralih tangan. Ini karena pemegang pertama telah meninggal dunia dan beralih ke anak.
Dari 13 warga terdampak, Ngadirah adalah warga yang bisa menunjukan serat kekancingan. Dalam dokumen tersebut tertanggal 1 April 1971 dan ditandatangani Kawedanan Hageng Punokawan. Dokumen ini, lanjut Soni, sempat ditanyakan oleh pengurus RW setempat. “Setiap tahun juga rutin bayar PBB, terakhir kemarin (2018) Rp 27 ribu. Listrik pakai 900 watt, air sempat pakai PDAM tapi sekarang sumur,” kata pedagang pakaian anak di Pasar Beringharjo ini.
Warga sisi timur, Puguh Widodo, 60, merasakan keresahan yang sama. Pria yang kesehariannya sebagai tukang becak ini adalah keturunan ketiga. Kekancingan magersari telah diajukan sejak kakek mertuanya.
Meski tidak keberatan namun dia meminta ada kepastian kompensasi. Berupa tanah atau bangunan agar menjadi tempat tinggal keluarganya. Kini dia menghuni rumah berukura 6 meter X 6 meter bersama empat keluarga lainnya.
“Kalau saya sendiri sudah 30 tahun disini, ikut mertua. Kalau mertua atau kakek mertua mungkin lebih lama. Tidak keberatan karena sadar hanya numpang, tapi kalau bisa ada kompensasi tempat (rumah tinggal),” ujarnya.
Hingga kini, Puguh memang tak memiliki rumah tinggal lainnya. Terlebih profesinya hanya sebatas pengayuh becak di kawasan alun-alun utara. Penghasilan keseharian hanya cukup untuk kebutuhan konsumsi.
Dalam pertemuan terakhir di kantor Kelurahan Panembahan, Puguh telah menyampaikan uneg-uneg. Dia membenarkan mayoritas warga meminta kompensasi. Disatu sisi bukan berarti warga menolak pemugaran bangunan bersejarah tersebut. “Suara dari warga katanya mau diteruskan ke Pemprov. Saya sendiko dawuh, yang penting rembugan apik,” harapnya.
Sebelumnya kerabat Keraton Jogja KRT Jatiningrat mengatakan tak tahu pasti ihwal munculnya permukiman pendudukan di area bekas beteng tersebut. Menurut dia, keraton memang merekomendasikan tempat itu untuk ditempati penduduk. Karena itu pria yang akrab disapa Romo Tirun itu meyakini, Keraton Jogja akan memikirkan ganti rugi. Sebagai konsekuensi proyek restorasi jokteng Gondomanan. “Nggak usah khawatir,” pintanya. (dwi/pra/mg4)