TANAH surga, sepenggal kata yang pantas disandang oleh negeri tercinta, Indonesia. Salah satu negara maritim yang mempunyai suku terbanyak di dunia. Sensus BPS (2010) menyebutkan terdapat 1.340 suku bangsa dan 300 kelompok etnis. Data Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan menyebut sebanyak 652 bahasa dari 2.452. Serta akumulasi persebaran bahasa daerah per provinsi, bahasa di Indonesia berjumlah 733.

Selain itu, Indonesia merupakan negara dengan jumlah bahasa daerah terbesar kedua setelah Papua Nugini. Tetapi, tak dapat dipungkiri sebagian besar bahasa itu akan musnah. Indonesia adalah salah satu dari banyak negara yang memiliki kerentanan besar terkait punahnya bahasa daerah.

Menilik laporan UNESCO No. 2  Tahun 2011, punahnya bahasa bisa disebabkan baik faktor luar (globalisasi, tekanan politik, keuntungan ekonomi, dll) maupun dalam (memperlihatkan sikap negatif masyarakat terhadap bahasa) atau, seringkali, kombinasi dari keduanya. Salah satu faktor penting yang dapat mengurangi pergeseran bahasa adalah adanya loyalitas masyarakat. Dengan demikian, pendukung suatu bahasa akan tetap menurunkan bahasanya dari generasi ke generasi. Di samping itu, faktor konsentrasi wilayah permukiman .

Sementara itu, era globalisasi telah merajai dunia ini. Bahasa nasional dan bahasa Internasional dijunjung tinggi demi kepentingan politik, ekonomi namun mengabaikan bahasa daerah sebagai identitasnya.

Seiring derasnya arus globalisasi dan modernisasi, aneka ragam bahasa di Indonesia kini seolah menjalani suratan zaman. Komunikasi pada era global menuntut adanya kesamaan bahasa agar komunikasi dapat berjalan lancar. Semakin cepat perkembangan teknologi di bidang komunikasi dan informasi maka eksistensi bahasa daerah semakin tergerus. Akibatnya, hanya bahasa-bahasa yang berpenutur banyak saja yang tidak bermasalah eksistensinya.

Lambat laun, seiring makin dominannya bahasa Indonesia maka bahasa daerah semakin diabaikan. Bahkan para orang tua membiasakan anak-anak mereka berkomunikasi dengan bahasa Indonesia sejak dini karena desakan kebutuhan berkomunikasi. Sebagaimana Teori Evolusi Darwin, terjadilah seleksi alam. Bahasa daerah yang tidak mampu bertahan akan punah ditelan zaman.

Salah satu faktor besar penyebab permasalahan tersebut adalah tuntutan komunikasi di wilayah urban. Dalam hal ini, terkait dengan aktivitas keseharian mereka. Adalah dilematis, upaya mempertahankan kearifan lokal muncul di tengah masyarakat global yang heterogen. Ditambah lagi dengan sistem pendidikan yang kian maju, yang menuntut seorang anak berbahasa secara luas, bukan sekedar bahasa daerah. Sudah lumrah, orang tua begitu bangga ketika melihat anaknya pandai berbahasa Internasional. Sementara itu,tidak ada kebanggaan sama sekali bila anaknya mahir berbahasa daerah.

Kurangnya kesadaran dan minat untuk melestarikan bahasa daerah yang juga merupakan bahasa ibu adalah salah satu penyebab terus hilangnya bahasa daerah. Sudah sepatutnya kita bersiap agar tidak terjadi kesenjangan dan keterbelakangan dalam kemajuan zaman, khususnya para generasi muda. Tetap, tidak berarti harus melepaskan diri dari bahasa daerah.

Langkah penyelamatan bahasa daerah meliputi penambahan bahasa daerah ke dalam kurikulum pendidikan nasional, mengampanyekan bahasa daerah, dan mengarsipkan bahasa daerah dalam bentuk audiovisual sebagai pustaka daerah. Formalin adalah resepnya: Festival, Optimalkan, Regulasi, Memasyakatkan, Arsipkan, Literasi, Internalisasi, Nativikasi. Dengan demikian bahasa daerah sebagai mutiara-mutiara Indonesia, tidak terus hilang ditelan peradaban.

Oleh karenanya, kita sebagai generasi penerus bangsa harus menjunjung bersama warisan khasanah budaya kita. Bersama pemerintah terkait, marilah kita rengkuh bersama budaya kita agar tidak pernah terjadi kepunahan bahasa dan tidak akan pernah ada istilah minus dokumentasi bahasa esok, kini dan nanti. (ila)

*Penulis adalah Peneliti di Perhimpunan Cendekia Jogjakarta