KAMPUS semakin rentan terpapar oleh berbagai macam ideologi. Menjadi ladang subur dan menjanjikan bagi paham radikalisme. Hal ini disebabkan kampus-kampus belum membentengi dan membekali mahasiswanya dengan semangat paham nasionalisme untuk memfiltrasi segala macam ideologi yang masuk.

Dalam kurun waktu setengah dekade ini, tema tentang radikalisasi begitu gencar dibicarakan beberapa kalangan, tidak hanya itu kata radikalisme selalu dikawinkan dengan ekstrimisme, terorisme dan istilah-istilah lain yang mencirikan paham garis keras. Secara garis besar gerakan radikalisme disebabkan oleh faktor ideologi dan faktor non-ideologi seperti ekonomi, dendam, sakit hati, ketidakpercayaan dan lain sebagainya (Saifuddin, 2017).

Faktor ideologi sangat sulit diberantas dalam jangka pendek dan memerlukan perencanaan yang matang karena berkaitan dengah keyakinan yang sudah dipegangi dan emosi keagamaan yang kuat. Faktor ini hanya bisa diberantas permanen melalui pintu masuk pendidikan (soft treatment) dengan cara melakukan deradikalisasi secara evolutif yang melibatkan semua elemen.

Pendekatan keamanaan (security treatment) hanya bisa dilakukan sementara untuk mencegah dampak serius yang ditimbulkan sesaat (Saifuddin, 2017).
Problem paham radikalisme memang sudah bukan lagi barang baru di negara ini, namun akhir-akhir ini, fenomena ini cukup mengkahawatirkan. Bahkan banyak kepala negara yang secara tegas mengatakan radikalisme merupakan ancaman bersama.

Masalah radikalisasi merambat dalam beberapa wilayah, termasuk wilayah perguruan tinggi. Paham radikal telah banyak mengalami kamuflase sesuai tempat dan kondisinya, paham-paham ini menyusup berganti kulit melalui kegiatan-kegiatan mahasiswa dengan cara memberikan bantuan dana kegiatan sehingga mendapat sambutan yang baik dan senyuman lebar di kalangan mahasiswa. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa kalangan mahasiswa rentan terkena paparan paham-paham ini, dipengaruhi oleh sikap beragama, psikologis, dan sosial politik (Widyaningsih, Sumiyem, & Kuntarto, 2017).

Hal ini mengingatkan kita pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, dimana aparat negara menekankan kepada semua kalangan agar tidak sampai mengancam stabilitas dan keamanan, termasuk di lingkungan perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri. Kegiatan berpolitik mahasiwa dibatasi dengan diberlakukannya peraturan NKK/BKK, dengan digelayuti kepentingan yang sudah tidak murni, seperti pengajian dalam lingkup yang besar, kemudian di kelompokan dalam ruang kecil. Pada saat itulah, ideologi doktriner paham radikal ditanam, kemudian tumbuh subur, merambat ke wilayah lain. Saat ini generasi muda sedang merasakan musim radikal yang banyak bermuculan di berbagai belahan perguran tinggi Indonesia.

Upaya ini semakin nyata dengan usaha yang dilakukan oleh Kemenristek Dikti melalui Permenristekdikti No. 55 Tahun 2018 merespon dengan menekankan mentoring kebangsaan bagi aktifitas mahasiswa di kampus. Setiap kampus wajib membentuk Unit Kegiatan Mahasiswa Pengawal Ideologi Bangsa (UKM-PIB). Salah satunya adalah mengajak kembali organisasi ekstra yang berhaluan Pancasila di kampus untuk ikut memperkuat upaya melawan radikalisme di kampus. UKM ini menjadi wadah bagi organisasi mahasiswa untuk berkontestasi dalam memperkuat ideologi kebangsaan yang mulai pudar di lingkungan kampus dengan merebaknya pemikiran radikal.

Arus Radikalisme di Indonesia mencatat perlu adanya pengoptimalisasian peran dalam lembaga pendidikan formal maupun non-formal, termasuk dalam lingkungan perguruan tinggi, dalam upaya mencegah dan mencari solusi jangka cepat, upaya pencegahannya melalui dialog dan edukasi. Dalam upaya ini pencegahan dalam bentuk sedini mungkin dari praktik radikalisme bisa dilakukan dengan kegiatan yang bermanfaat, seperti kegiatan edukasi, kreatif, inovatif, produktif dan kooperatif berbasis UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.

Dalam problem ini, perguruan tinggi mempunyai beberapa pekerjaan rumah yang tidak sedikit. Dalam upaya mencegah radikalisasi di perguruan tinggi, saat ini sudah selayaknya semua aspek kegiatan dilibatkan. Mahasiswa bisa diberi pelatihan kebangsaan dengan harapan memiliki rasa nasionalisme yang tinggi sebagai warga negara yang baik.

Dengan menjalin relasi yang baik antar mahasiswa dengan dosen, alumni maupun organisasi mahasiswa baik intra atau ekstra, dosen yang notabene sebagai orang tua dilingkungan kampus mampu mengarahkan agar kegiatan yang dilakukan mahasiswa selalu dalam koridor faham yang sesuai dengan asas negara dan agama. Disaat keharmonisan dan solidaritas kebangsaan antar semua aspek bangsa terus dibangun, paham radikalisme dapat dicegah menyebar kewilayah lain yang lebih besar lagi (Nashir, n.d.). (ila)

*Penulis merupakan mahasiswa Ilmu Hadis UIN Sunan Kalijaga sekaligus santri di Pondok Pesantren Wahid Hayim Jogjakarta. Aktif di Perhimpuan Mahasiswa Cendekia Jogjakarta dan Lingkar Studi Islam Pembebasan (LSIP), UKM Kordiska.