Dalam sepekan enam orang meregang nyawa di Kota Jogja setelah menenggak ciu. Dugaan ini menguat berdasarkan gejala yang mereka alami. Mual, muntah, hingga pandangan kabur. Lalu pingsan.

SUDAH tak terhitung jumlah nyawa yang melayang akibat minuman beralkohol (mihol) racikan sendiri. Seperti ciu, lapen, atau sejenisnya. Namun tetap ada saja yang mengonsumsi banyu setan itu. Ini membuktikan peredaran mihol, khususnya di wilayah Kota Jogja, belum zero percent.

Betapa syoknya Ludoficius Sigit, 66, saat mendapati anaknya, Kustanto Sutrisno, 46, meregang nyawa Sabtu (16/3). Kustanto adalah orang ketiga yang tewas akibat minum ciu bersama sejawatnya. Dua lainnya, Kusmedi, 50, dan Ari Prabowo, 31, meninggal lebih dulu. Kusmedi mengembuskan nyawa pada Rabu (13/3). Selang sehari kemudian disusul oleh Ari. Ketiganya warga Jagalan, Ledoksari, Purwokinanti, Pakualaman, Kota Jogja.

Menurut Sigit, ketiganya mengonsumsi ciu sejak Sabtu (9/3) lalu. Awalnya memang tak ada yang curiga atas meninggalnya Kusmedi dan Ari Prabowo. Sebab, setelah menenggak ciu ketiganya tak menunjukkan tanda-tanda mencurigakan. Bahkan mereka tetap beraktivitas seperti biasanya. Pun ketika Kusmedi meregang nyawa, Kustanto dan Ari melayat di rumahnya. Demikian pula saat Ari meninggal keesokan harinya. Kustanto juga melayat ke rumah tetangganya itu yang dimakamkan Jumat (15/3).

Informasi yang diterima Sigit, Kusmedi sempat tak sadarkan diri saat berada di kamar mandi. Lalu terjatuh dan meninggal. Ari juga mengalami hal yang sama. Dia sempat dilarikan ke RS Wirosaban. Namun nyawanya tetap tak terkejar.
Sampai saat itu warga masih belum curiga atas kematian Kusmedi dan Ari. Bahkan, Kustanto masih mengonsumsi ciu pada Jumat (15/3) sore.

Sigit mengetahui saat Kustanto menenggak mihol khas Bekonang, Sukoharjo, itu. Menurutnya, Kustanto tak menghabiskan mihol yang dikemas dalam botol air mineral itu. Kustanto hanya menenggak setengah gelas belimbing dan menyudahinya. Dia merasa ada yang aneh dengan minumannya itu. “Usai minum anak saya (Kustanto) bilang, ‘rasane kok ora kaya biasane’,” beber Sigit Minggu (17/3).

Ciu itu diwadahi botol kotak. Oleh keponakan Kustanto ciu itu langsung dibuang ke Sungai Code. Agar tidak diminum lagi.

Tak lama setelah itu Kustanto merasa tak enak badan, mual, dan pandangan mata kabur. Dia lantas minta tolong keponakannya itu untuk dicarikan kelapa hijau. Setelah minum air kelapa hijau, Kustanto langsung muntah-muntah. Kustanto lantas dibawa ke rumah sakit terdekat, lalu dirujuk ke RS Wirosaban, Kota Jogja Sabtu (16/3) dini hari.

Dalam pemeriksaan, dokter menyarankan Kustanto untuk cuci darah. Tak berapa lama Kustanto mengembuskan napas terakhirnya.
Dari situlah warga Pakualaman mulai curiga. Bahwa penyebab kematian tiga sejawat itu akibat ciu yang mereka konsumsi. Ketiganya diketahui sempat pesta mihol tradisional itu bareng-bareng. Sebelum meninggal, ketiganya juga menunjukkan gejala kemiripan. Mual dan pandangan kabur. Menurut Sigit, Kustanto bahkan sempat buang air besar disertai darah seminggu sebelum meninggal.

“Kalau Ari malah ada tanda kebiruan di dadanya. Diketahui saat jenazahnya akan dimandikan,” ungkap Sigit.

Sigit meyakini ketiganya meninggal karena ciu. Kendati demikian, dia tak akan menempuh jalur hukum. Sigit menyadari, sang anak meninggal akibat perbuatannya sendiri. Dia mengakui jika Kustanto memang terbiasa mengonsumsi mihol.

Pertimbangan lain adalah alasan ekonomi. Jika berlanjut ke ranah hukum, Sigit khawatir harus mengeluarkan biaya untuk keperluan otopsi jenazah Kustanto. Sigit merasa tidak mampu membayarnya.

“Saya sudah buat surat pernyataan. Saya pribadi menganggap ini musibah. Konsekuensi dari kebiasaan anak saya mengonsumsi mihol,” ucapnya.
Terpisah, Sarjilah, 63, ibu Ari Prabowo, mengungkapkan hal senada tentang kematian anaknya. Ari mengeluh sakit sepulang pelayat di pemakaman Kusmedi. Rabu (13/3) malam dia merasa kedinginan, mual, pusing, dan pandangan mata kabur.

Meski telah minum obat meriang, kondisi Ari tidak kunjung membaik. “Badannya dingin. Kalau ditanya ngap-ngapan seperti sesak napas dan sulit berbicara. Ari sempat dibawa ke RS Wirosaban, tapi tidak tertolong,” ungkap Sarjilah.

Sebelumnya, ciu sudah merenggut dua nyawa warga Tegalrejo, Kota Jogja dan seorang warga Kemusuk, Sedayu, Bantul. Ketiganya adalah Sugiyahartono, 37, Kandarwarsono, 48, dan Gunawan. Ketiganya tewas setelah tiga hari berturut-turut pesta ciu sejak Selasa (12/3) hingga Kamis (14/3).

Ketiganya mengembuskan nyawa berturut-turut pada Rabu (13/3) sore dan Jumat (15/3) dini hari. Sugiyahartono meninggal Rabu (13/3) pukul 15.30 di RS Ludira Husada Tama, Kota Jogja. Watinah, istri Sugiyahartono, mengatakan, suaminya sempat mengalami sesak napas. Sempat diopname sehari di rumah sakit, nyawa Sugiyahartono tetap tak tertolong.

Demikian pula dengan Gunawan. Saat dia mengeluh kesakitan tak ada warga Tegalrejo yang mengenal keluarganya. Warga lantas berinisiatif membawanya ke RS PKU Muhammadiyah, Gamping, Sleman. Dan meninggal tak lama kemudian.

Pun demikian Kandarwarsono. Kakak Kandarwarsono, Paulus Aris Wibowo, mengungkapkan, pesta mihol di rumah adiknya diikuti sekitar 20 orang. Mereka datang secara bergantian. Sambil makan daging babi dan daging anjing. “Kamis pagi masih minum. Sampai pukul 12.00 mereka masih pada minum juga,” ungkapnya Jumat (15/3).

Lantaran mengeluh sakit dan mual-mual, Kandarwarsono lantas dibawa ke RS Ludira Husada Tama. Kemudian dirujuk ke RS Bethesda Jumat (15/3) dini hari sekitar pukul 02.30. Dia meninggal sekitar dua jam kemudian. “Mereka itu minum ciu. Diwadahkan botol air mineral kecil. Kata mereka bukan oplosan,” beber Paulus Aris. (dwi/yog/tif)