BANTUL – Dari dukungan sang ibu, Ndaru Patma Putri berani keluar dari zona nyaman. Keterbatasan fisik pun dilawannya. Dijawab dengan segudang prestasi.

MEITIKA CANDRA L, Bantul

Bagian tulang belakangnya patah. Seluruh sistem sarafnya dari pinggang hingga ke bawah juga rusak.
”Kaki tidak dapat digerakkan sama sekali. Rasanya seperti melayang,” kenang Ndaru Patma Putri menceritakan dampak gempa bumi 2006 yang mengubah hidupnya.

Dokter yang menanganinya memvonis bahwa warga Pedukuhan Sudimoro, Timbulharjo, Sewon, Bantul, ini harus menggunakan kursi roda. Seumur hidupnya. Bak petir di siang bolong, Ndaru yang saat itu berusia 14 tahun nyaris tak percaya mendengar kenyataan pahit tersebut.
”Hampir selama empat tahun menutup diri. Minder,” tuturnya saat dihubungi Radar Jogja, Minggu(31/3).

Hari-hari kelam Ndaru mulai berubah. Setelah dua pengurus National Paralympic Committee (NPC) Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Bantul rutin datang ke rumahnya. Memberikan suntikan semangat. Mereka juga sering membujuk agar Ndaru bergabung sebagai atlet tenis lapangan kursi roda.
”Waktu itu, posisinya kosong. Tidak ada atlet,” tuturnya.

Di usianya yang menginjak 18 tahun, Ndaru akhirnya bersedia dengan ajakan itu. Menekuni olahraga yang sama sekali baru baginya. Step by step pun dijalaninya.

Minggu pertama, Ndaru dikenalkan tenis lapangan. Dia hanya melihat-lihat. Minggu kedua Ndaru mulai diajarkan cara memegang raket. Minggu ketiga, Ndaru mencoba latihan. Minggu keempat Ndaru mulai mendapatkan training.

Sejak itu, Ndaru rutin latihan. Porsinya tiga kali seminggu selama enam bulan.
Hasil kerja keras tak pernah berkhianat. Ndaru dua tahun berikutnya mulai mengikuti turnamen tenis kursi roda. Persisnya pada 2012. Saat itu dia berpasangan dengan Dita, penyandang tunadaksa dalam kelas ganda.

Tak lama berselang, Ndaru ikut mewakili DIJ dalam Peparnas XIV 2012 di Riau. Di turnamen bergengsi ini, Ndaru membawa dua medali perunggu sekaligus.
”Sebagian bonus saya belikan sepeda motor roda tiga. Saya tak ingin merepotkan orang lain untuk mengantarkan saya pergi,” tutur Ndaru menyebut semangatnya kian terangkat setelah pesta olahraga itu.

Sejak itu, Ndaru menceritakan, kerap mengikuti berbagai kejuaraan. Baik di tingkat nasional maupun Asia. Asian Paragames Indonesia Oktober 2018, contohnya. Koleksi medali di lemarinya pun bertambah. Mulai perunggu, perak, hingga emas.

”Ada 12 kejuaraan yang pernah saya ikuti,” sebutnya.
Selain tenis lapangan, Ndaru juga menguasai beberapa cabang olahraga lain. Di antaranya, balap kursi roda, bulu tangkis, tenis meja, dan tolak peluru.
”Juga meraih prestasi,” ucapnya.

Di balik kebangkitannya, Ndaru menyimpan rasa kagum terhadap Wagilah, ibunya. Perempuan 58 tahun itulah yang memperkenalkan Ndaru dengan berbagai komunitas penyandang disabilitas. Yang berujung NPC KONI Bantul telaten membujuknya. Dan, Wagilah pula yang mengantarkan dan mendukung Ndaru terjun sebagai atlet tenis lapangan.

”Ibu saya mendukung dalam segala hal. Dia tidak henti-hentinya menyemangati. Dia ibu sekaligus teman,” tutur perempuan 8 Januari 1992 ini penuh dengan rasa bangga.

Sebagai orang yang pernah punya pengalaman pahit, Ndaru pun meminta penyandang disabilitas tak merasa minder. Dia juga mendorong mereka berani keluar dari zona nyaman. Untuk mencoba tantangan demi tantangan.
”Jika berani ke luar zona nyaman, saya yakin bikin ketagihan. Berani menantang diri dalam ketakutan,” katanya. (zam/mg2)