GUNUNGKIDUL – Telinga merupakan bagian vital dari organ tubuh manusia yang berfungsi sebagai indera pendengaran dan organ yang menjaga keseimbangan. Di Gunungkidul, keluhan pasien mengenai gangguan pendengaran muncul setiap hari.

Dokter Spesialis THL-KL RSUD Wonosari dr Ima Dewi Rosmawati mengatakan, penyebab gangguan telinga diakibatkan karena trauma pendengaran (bising berlebihan), infeksi, kotoran atau kelainan sejak lahir.

“Tahun lalu setidaknya ada 220 pasien yang periksa di RSUD Wonosari positif tuli. Sementara untuk pasien hampir setiap hari ada, hanya tidak semua berpotensi tuli,” kata Ima dalam peringatan Hari Mendengar Sedunia (World Hearing Day) 2019 di Wonosari, akhir pekan lalu.

Dia menjelaskan, di 2018 penyakit gangguan pendengaran masih menempati 10 besar penyakit yang mendominasi pasien yang datang berobat ke Poli THT RSUD Wonosari. Adapun jenis gangguan pendengaran banyak ditemui, antara lain, gangguan tuli hantaran, biasanya diakibatkan karena adanya kotoran di liang telinga.  “Gangguan tuli lainnya adalah tuli syaraf dan tuli campuran,” ujarnya.

Menurut Ima, sebetulnya kelainan atau gangguan pendengaran bisa diketahui sejak usia dini. Bisa dengan alat kusus bernama OAE (oto acoustic emmision), biasanya dilakukan sehari setelah melahirkan atau dengan memanfaatkan responsif pendengaran balita.

“Sebelum menjadi gangguan serius, sebenarnya si penderita sudah mengetahui gejala atau kelainan yang terjadi. Hanya saja sering mengacuhkan itu,” terangnya.

Sementara itu, Sekretaris Dinas Kesehatan (Dinkes) Gunungkidul Priyanta Madya Satmaka mengatakan, kasus gangguan pendengaran didominasi bawaan dari lahir. Oleh sebab itu, di setiap puskesmas ada program deteksi dini untuk memonitor tumbuh kembang anak. “Jika ada temuan dirujuk ke RSUD Wonosari atau ke RSUP Sardjito, diberikan alat bantu pendengaran,” kata Priyanta.

Disinggung mengenai persentase pasien gangguan telinga, pihaknya mengaku belum memiliki data pembanding. Dia memastikan kasus gangguan pendengaran masih kecil. Sejauh ini orang dengan risiko terhadap gangguan pendengaran belum menjadi prioritas Kementrian Kesehatan (Kemenkes).

“Namun selama ini kami cukup terbantu ketika ada pihak lain menggandeng elemen puskesmas untuk menangani kasus tuli,” ujarnya. (gun/laz/mg4)