JOGJA – Seni lukis nampaknya masih menjadi hal langka yang digeluti oleh kaum perempuan. Faktornya pun beragam. Entah dari lingkungan keluarga, diri sendiri, maupun keadaan.
Tetapi, beberapa perempuan seniman masih mampu bertahan dan eksis berkarya. Namun tak jarang pula yang akhirnya mengalihkan fokus pada bidang pekerjaan lainnya.
Salah satu perempuan seniman yang masih mampu bertahan dengan karya seni lukisnya adalah Camelia Mitasari Hasibuan. Perempuan kelahiran Gunungkidul, 16 Maret 1993 ini masih aktif mengikuti pameran- pameran di berbagai tempat. Tak hanya di dalam negeri, tetapi juga internasional.
Lahir dari keluarga yang memiliki latar belakang seniman cukup kuat, perempuan yang akrab disapa Camel itu tak pernah bosan untuk terus berkarya. Bekerja sama dengan Art Xchange Gallery sejak 2014, Camel senantiasa difasilitasi untuk bisa mengikuti berbagai pameran.
Tak hanya itu, berbagai pencapaian dan prestasi pun mampu diraihnya. Seperti misalnya 2017, sulung dari tiga bersaudara itu menjadi salah satu peserta seniman seleksi Beijing International Art Biennale #7. Dia pun pernah menyabet karya terbaik kompetisi seni lukis Basoeki Abdullah Art Aaward 2013.
Di tahun yang sama pula, Camel meraih Gold Award Emerging Artist Kompetisi Seni Lukis UOB Painting of the Year.
Sebagai salah seorang perempuan seniman di Jogjakarta, Camel berpendapat seni lukis adalah bentuk ekspresi diri. Terlebih akan masalah atau isu-isu lingkungan yang kian hari hangat dibicarakan banyak orang. “Karya saya ini masuk ke surealisme,” tutur Camel saat ditemui Radar Jogja, Sabtu(23/3).
Karya-karya Camel yang pada umumnya memiliki pesan tentang konservasi alam. Digoreskan secara imajinatif. Sentuhan-sentuhan sisi maskulin pun kerap kali muncul dalam lukisannya. Oleh karena itu dia pun tak bisa mengamati secara pasti karakteristik goresan perupa perempuan dengan laki-laki. “Saya rasa sama saja sekarang,” katanya.
Lukisannya yang baru saja rampung bahkan tak tampak seperti goresan seorang perempuan. Gambar mobil Jeep gagah yang dia tuangkan, terlihat sangat maskulin. Ditambah dengan penggunaan warna gelap yang terkesan kuat.
Alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta itu tak tahu pasti kapan sekiranya mulai menyukai dunia melukis. Sebab, sejak kecil dia terbiasa melihat sang ayah, yang juga seorang seniman, bekerja. Dari keluarga pula dia merasa mendapat dukungan penuh. Meski tak jarang sang ayah memberi masukan dan kritikan untuk gambarnya.
Untuk mengerjakan sebuah karya lukis, Camel membutuhkan waktu mulai dari dua minggu hingga berbulan-bulan. Tergantung ukuran bidang kanvas yang dilukiskan. Sedangkan untuk inspirasi melukis didapatkannya melalui berbagai referensi. Seperti internet, berbagai film, hingga buku komik.
Dalam membuat sebuah lukisan pun Camel tak sekadar menggoreskan cat di atas kanvas. Untuk beberapa karya dia bahkan harus membaca banyak literatur agar simbol-simbol yang dilukisnya memiliki makna. Terkait eksistensi perempuan seniman di Jogjakarta, Camel berpendapat butuh adanya sistem manajemen yang baik. Sebab, selain semangat berkarya, manajemen itu pun diperlukan.
Di sisi lain, ada Meitika Candra Lantiva. Alumnus ISI Jogjakarta itu berpendapat belum banyak seniman perempuan yang eksis dan bertahan. Faktornya pun beragam. “Perempuan itu tidak bisa fokus seluruhnya berkarya. Apalagi medan seni itu luas,” ungkapnya.
Perempuan yang memilih profesi lain itu mengungkapkan ada hal-hal yang terkadang membatasi perempuan untuk bisa bertahan di dunia seni. Meski esksistensi tersebut baginya tetap bisa dipertahankan.
Senada dengan Camel, bagi perempuan yang akrab disapa Tika itu tak ada ciri khas yang membedakan antara goresan perempuan dengan laki-laki. Di sisi lain, goresan perempuan justru memberi pandangan sendiri berdasarkan jiwa dan naluri masing-masing perempuan. “Masuk dunia seni itu memang harus total,” ungkapnya.
Kendati demikian dia melihat perempuan bisa terus berkarya di bidang seni. Meski kelak akan ada banyak prioritas dalam hidupnya. Seperti keluarga, anak-anak, hingga dirinya sendiri. Namun, dari hal-hal sederhana dan mudah dirasakan itu perempuan justru dimudahkan dalam berekspresi. Khususnya melalui goresan cat. (cr9/din/mg2)