KALAU familiar dengan film-filmnya Gaspar Noé (Love, Enter The Void Irreversible), mungkin bakal bisa membayangkan film ini seperti apa karena lewat film ini aura nyeleneh berpotensi kontroversial karena menabrak norma umumnya masih terasa. Bedanya, kali ini narasinya terinspirasi dari kejadian nyata yang terjadi di Prancis pada musim dingin tahun 1996.
Saat itu sekelompok penari profesional sedang melakukan latihan pertunjukan tari mereka, yang turnya direncanakan juga akan diboyong ke AS, di sebuah bangunan di lokasi terpencil. Tak lama setelah para penari meminum minuman racikan beralkohol sangria, masing-masing berhalusinasi.
Belakangan mereka menyadari kalau ada yang melarutkan LSD di dalamnya. Malam latihan tari penuh gelora pun seketika berubah menjadi bak mimpi buruk yang kalut.
Gaspar Noé tetaplah sineas penghasil film yang sebaiknya tak ditonton bareng keluarga. Norma-norma moral kerap ia tabrak, pun penggarapan sinematiknya yang kerap pula memakai aksen warna neon tersaturasi dalam aura gelap (noir) dengan manuver kamera yang ulang-alik macam burung sedang mabuk.
Yang menjadi sorotanku di film ini adalah kisahnya yang tersampaikan secara menarik. Pasalnya, kalau dikulik si Gaspar Noé ini hanya menyiapkan skrip lima halaman untuk film ini. Meski begitu, rekonstruksi liar dari kisah nyata yang sedang diangkat terasa asyik karena kegemilangan imajinasi nakalnya si Gaspar Noé ini.
Ditambah, transisi konflik dari kenormalan menuju kegilaannya saya bilang cukup mulus. Belum lagi, pemilihan musik-musik latarnya yang terlikat kuat dengan adegan demi adegannya sepanjang durasi.
Bisa jadi, untuk sementara waktu bagiku mungkin inilah titik koordinat teroptimal karya Gaspar Noé. Seringnya ide dan karya-karyanya membuat saya geleng-geleng dan susah untuk jujur menikmati keseluruhan sajiannya. Sebut saja ”kambing-kambing hitamnya” seperti adegan perkosaan di lorong yang terlalu deskriptis di Irreversible dan ide men-3D-kan aktivitas seksual dalam Love.
Inilah satu karya (yang masih terbilang) eksentrik dari Gaspar Noé yang bisa menjadi jembatan pemanasan untuk karya-karya dia lainnya. Keanehan khasnya masih dapat, keseruan dinamika narasinya pun cakep. Kita seperti menonton aksi panggung badut profesional yang bagi sebagian orang yang traumatis dadanannya tampak menyeramkan nan mencekam, sedangkan bagi lainnya seru menggelikan. (ila)
*Penulis adalah penggemar film dalam negeri dan penikmat The Chemical Brothers yang bermukim di Jogja Utara