JOGJA – Bumi bergoyang. Begitu dahsyatnya. Sabtu, 27 Mei 2006. Tepatnya pukul 05.59. Melanda hampir seluruh wilayah Bantul serta sebagian Sleman dan Kota Jogja. Peristiwa alam 13 tahun silam itu tak lekang dari ingatan para korban.
IWAN NURWANTO, Bantul
Matanya mulai berkaca-kaca. Tanpa kedip Sujiman tak hentinya memandangi sebuah monumen tak jauh dari rumahnya. Di Dusun Potrobayan, Srihardana, Pundong, Bantul.
Tanpa alas kaki Sujiman berjalan meniti batuan untuk mendekati monumen itu. Inilah Monumen Peringatan 10 Tahun Gempa Bantul.
Sosok 68 tahun itu ingat betul bencana alam maha dahsyat yang meluluhlantakkan wilayah Bantul dan sekitarnya. Meski hanya berdurasi kurang satu menit, ribuan rumah warga roboh. Rata dengan tanah. Ribuan korban meninggal. Ribuan lainnya dirawat di rumah sakit.
Sujiman adalah tukang kayu yang tiap pagi nyambi jualan bubur. Dia masih ingat betul saat itu bangun tidur dan bergegas membantu istrinya menyiapkan dagangan. Beberapa menit sebelum gempa Sujiman sibuk mengaduk adonan bubur dalam wajan besar. Bubur diaduk menggunakan entong yang terbuat dari kayu.
Dengan mata yang masih mengantuk Sujiman tiba-tiba dikagetkan dengan suara gemuruh yang begitu kencang. Bersamaan dengan suara gemuruh tanah tempat dia berdiri bergetar dan bergoyang. Sampai-sampai empat pilar yang mengelilingi tembok dapurnya roboh. Panik, Sujiman bergegas mencari istri dan cucunya.
Hatinya makin ciut saat melihat kaki sang cucu, Desti Novita Sari, tertimpa tembok kamar. Kaki mungil itu tak hanya patah. Tulang kerasnya pun sampai terputus.
Suasana makin mencekam. Sujiman melihat bagaimana kebingungan warga desanya. Beberapa berteriak. Sebagian lainnya menangis. Ada pula yang berlari menuju tanah lapang. Mengingat pada saat itu tersiar isu tsunami mendekat serta kabar Gunung Merapi meletus dahsyat.
Sambil membopong cucunya Sujiman segera mencari pertolongan. Beruntung anak pertamanya, ayah sang cucu, pulang saat itu. Ayah Desti urung bekerja. Meski sebelumnya dia sempat pamit kepada Sujiman berangkat kerja menyopir truk angkutan.
Tak ada pikiran lain di benak Sujiman. Selain sesegera mungkin menuju tempat layanan kesehatan. Demi mencari pertolongan buat sang cucu. Sujiman pun mendatangi penyedia jasa sangkal putung (pengobatan tradisional untuk patah tulang). Tapi tak ada hasil. Beberapa rumah sakit pun dia sambangi. Namun semua menolak. Karena tim medis sibuk menangani banyaknya korban lain yang lebih parah.
Langkah kakinya terhenti di RS PKU Muhammadiyah. Sujiman punya kenalan di rumah sakit itu. Sehingga cucunya bisa langsung ditangani. Saat itu juga kaki sang cucu dipasangi gips. “Alhamdulillah istri dan dua anak saya selamat tanpa luka,” tuturnya.
Pulang dari rumah sakit Sujiman mendapati rumahnya telah tak berbekas. Pun bangunan lain di sekitarnya. Semuanya rata dengan tanah. Dia lantas menuju posko tenda pengungsian terdekat.
Kurang lebih tiga bulan Sujiman dan keluarganya tinggal di barak pengungsian. Saat itu dia merasakan betapa guyub warga desa. Gotong royong. Saling menyumbangkan makanan dan bahan bangunan dari sisa-sisa reruntuhan.
“Bahkan dulu ada ternak disembelih untuk dimasak dan dimakan warga satu desa,” kenangnya.
Waktu berjalan, hari berganti, bantuan mulai berdatangan. Termasuk dana bantuan pembangunan rumah. Warga Bantul bangkit. Membalikkan keadaan dari yang tadinya terpuruk menjadi penuh optimisme.
Bagi Sujiman, gempa dahsyat menjadi sebuah peringatan. Agar seluruh masyarakat selalu siaga, siap, dan waspada menghadapi bencana. Mengingat potensi bencana masih mengintai wilayah Jogjakarta.(yog/fj)