SLEMAN – Sleman belum bebas kekeringan. Terutama di Kecamatan Prambanan. Wacana zero droping air sudah digemakan. Namun belum terealisasi
Dua Camat Prambanan, Eko Suhargono dan Rasyid Ratnadi Sosiawan sudah mencanangkan zero droping air. Namun, persoalan kekurangan air setiap kemarau masih belum teratasi.
Wilayah Dusun Kikis, Sambirejo, Prambanan menjadi pelanggan kekeringan. Tahun ini, ada empat RT (dari lima RT) yang mengajukan droping air ke Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sleman.
“Setidaknya 100 Kepala Keluarga (KK) meminta droping air seminggu sekali. Masing-masing satu tangki 5.000 liter. Setiap minggu harus droping empat tangki,” kata pengurus Organisasi Pengelolaan Air (OPA) Prambanan, Murjiyanto (17/6).
Dikatakan, persoalan kekurangan air bisa teratasi dengan OPA. Namun belum semua warga langganan OPA. Persoalan lain, terkait gravitasi untuk mengalirkan air dan jarak rumah berjauhan.
Sehingga dibutuhkan banyak pipa untuk mengalirkan air ke rumah warga. “Ada juga warga yang ditawari berlangganan OPA tidak mau,” katanya.
Padahal, debit air OPA di Desa Bokoharjo bisa mencukupi kebutuhan masyarakat. Semakin banyak yang berlangganan OPA, semakin ringan biaya operasionalnya.
“Saat ini per meter kubik masyarakat ditarik Rp 8.000, kalau masyarakat yang berlangganan sedikit, OPA justru mati. Karena biaya membengkak,” kata Murjiyanto.
Dalam minggu ini, BPBD akan melakukan droping air. Debit air di sumur bor milik warga Kikis mulai berkurang. Penyebabnya, sumur bor di Klaten jaraknya hanya 100 meter dari sumur bor milik warga Kikis. Sumur bor di Klaten juga lebih dalam.
“Kami sedang mengupayakan ke BPBD Sleman untuk menambah kadalaman sumur bor. Dan koordinasi dengan Klaten,” kata Murjiyanto.
Untuk bisa zero droping air harus memaksimalkan OPA. Kalau belum bisa mencukupi kebutuhan, baru droping air. Kalau ada satu yang minta droping, semua pasti minta,” ujar Murjiyanto.
Kabid Kedaruratan BPBD Sleman, Makwan mengatakan, pihaknya menyiapkan 75 tangki air untuk droping. Satu tangki berisi 5.000 liter air. “Kalau masih kurang, kami tambah lagi di anggaran perubahan,” kata Makwan.
Camat Prambanan, Rasyid Ratnadi Sosiawan mengatakan, air di Prambanan sudah mencukupi. “Air sudah tidak jadi masalah. Prambanan sudah zero droping karena air melimpah,” kata Rasyid.
Optimisme itu muncul lantaran di Prambanan sudah memiliki tiga OPA. OPA berada di desa-desa yang rawan kekeringan. Yakni Gayamharjo, Wukirharjo dan Sambirejo.
“Airnya ambil dari Bokoharjo dan Sumberharjo. Kemudian ditarik ke penampungan. Untuk perawatan, ada iuran warga,” kata Rasyid.
Sementara itu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Jogjakarta memprediksi puncak kemarau Agustus 2019. Kepala Kelompok Data dan Informasi Stasiun Klimatologi BMKG Jogjakarta, Etik Setyaningrum menjelaskan iklim di DIJ sampai awal Juni 2019 sudah masuk musim kemarau.
Kemarau ini, lanjut Etik, secara periodik akan menguat setiap bulan. Puncak musim kemarau diprediksi Agustus 2019. “Hasil pantauan kami, rata-rata suhu maksimum di siang hari mencapai 31 derajat Celsius. Kelembaban minimum 62 persen,” katanya.
Pihaknya mengimbau masyarakat mempersiapkan diri. Seperti menghemat air. Selain itu, ada potensi kurangnya ketersediaan air untuk pertanian dan debit air di waduk juga berkurang.
“Kami meminta masyarakat menjaga kesehatan. Terutama pada siang hari yang cukup panas. Mengurangi aktivitas di luar ruangan. Petani diminta mulai menyiapkan pola tanam yang sesuai iklim kemarau. Agar tidak gagal panen,” imbau Etik. (har/iwa/er)