Peristiwa Yogya Kembali wajib dikenang oleh seluruh masyarakat. Sebab, peristiwa tersebut memiliki makna besar bagi Republik Indonesia.
Dalam berbagai kesempatan, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X menegaskan Yogyakarta sejak awal sudah berkomitmen terhadap Republik Indonesia. Selain itu, Peristiwa Yogya Kembali dapat dijadikan pengikat pemersatu bangsa.
Peristiwa Yogya Kembali tak lepas dari Serangan Oemoem 1 Maret 1949. “Serangan Oemoem 1 Maret 1949 mengisyaratkan Republik Indonesia secara de facto masih eksis, dan proklamasi kedua menyatakan Republik Indonesia secara de jure tetap berdaulat,” jelasnya.
Proklamasi kedua tersebut merujuk pada Proklamasi yang dikeluarkan oleh Menteri Negara Koordinator Keamanan Republik Indonesia Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada 30 Juni 1949. Melalui Proklamasi Kedua ini, kedaulatan Indonesia secara de facto dan de jure dirancang untuk mendapatkan pengakuan dari negara-negara di dunia.
”Presiden (Soekarno) ditahan di Bangka. Kepala PDRI Mr Syafruddin Prawiranegara, yang pindah-pindah di Sumatera Barat. Proklamasi diucapkan Sri Sultan HB IX di Yogyakarta, ini menunjukkan kelapangan dada dan kebesaran hati para pendahulu kita,” jelas HB IX.
Peristiwa Yogya Kembali juga merupakan bagian tak terpisahkan dari rentetan peristiwa sejarah mempertahankan kedaulatan Indoensia. Terhitung sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga kembalinya kedaulatan penuh pada 17 Agustus 1950.
Peristiwa Yogya Kembali merupakan mata rantai tonggak sejarah sebelum dan sesudahnya. Yakni, sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, Amanat 5 September 1945, Jogja Ibukota Republik 4 Januari 1946, Serangan Oemoem 1 Maret 1949, Yogya Kembali 29 Juni 1949, kembalinya Ibukota RI ke Jakarta 27 Desember 1949, serta utuhnya Indonesia sebagai negara yang berdaulat penuh sejak 17 Agustus 1950.
”Tekad Suwargi HB IX dan rakyat Jogja untuk bergabung dengan NKRI tidak hanya dibuktikan dengan Amanat 5 September 1945 itu saja,” ujar HB X. (*/amd)