JOGJA – Yogyakarta memili peran istimewa bagi Republik Indonesia. Dari Yogyakarta, Republik Indonesia benar-benar bebas dari tentara penjajah Belanda. Itu terjadi pada 29 Juni 1949. Penarikan tentara penjajah itu dikoordinasi oleh Menteri Pertahanan Republik Indonesia Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Penarikan seluruh tentara penjajah Belanda dilakukan pasca disepakatinya Perjanjian Roem-Roijen. Tanpa terkecuali, seluruh pasukan Belanda ditarik keluar dari Yogyakarta. Tentara Nasional Indonesia (TNI) kemudian masuk ke Yogyakarta. Peristiwa ini dikenang sebagai Peristiwa Yogya Kembali.
Perundingan Roem-Roijen antara Republik Indonesia dan Belanda dilaksanakan sejak 14 April 1949 di Hotel Des Indes Jakarta dan ditandatangani 7 Mei 1949. Delegasi Indonesia dipimpin Mohammad Roem. Pihak Belanda dipimpin Herman van Roijen.
Perjanjian Roem-Roijen terkait erat dengan Serangan Oemoem (SO) 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Peristiwa ini menunjukkan Republik Indonesia masih berdiri tegak. TNI dan rakyat berhasil mengalahkan pasukan Belanda dalam serangan selama sekitar enam jam di Yogyakarta. Raja Keraton Yogyakarta yang juga menjabat Menteri Negara Koordinator Keamanan Republik Indonesia, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, memiliki peran penting dalam petistiwa ini. Selain Sultan HB IX, juga terlibat dalam peristiwa ini yakni Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Letkol Soeharto.
Serangan besar-besaran yang dilancarkan tersebut berhasil menguasai Yogyakarta, yang merupakan ibukota Republik Indonesia. Saat itu Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh Hatta, dan petinggi Republik Indonesia diasingkan Belanda di Bangka. Akibatnya, mereka tidak dapat menjalankan roda pemerintahan secara penuh.
Pasca Serangan Oemoem 1 Maret 1949, tentara Belanda ingin tetap menduduki Yogyakarta. Tapi, dunia internasional mendorong dilakukannya perundingan antara Republik Indonesia dan Belanda. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengambil sikap. Mereka memnutuskan perundingan antara kedua negara ditengahi oleh United Nations Commission for Indonesia (UNCI). UNCI merupakan pengganti Komisi Tiga Negara (KTN). UNCI terdiri wakil dari Australia, Belgia, dan Amerika Serikat.
Perundingan dilaksanakan di Jakarta mulai 14 April hingga 7 Mei 1949. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Mr Mohammad Roem. Delegasi Belanda diketuai oleh Dr Herman Roijen Herman. Perundingan berlangsung alot. Delegasi Indonesia menuntut agar perundingan-perundingan selanjutnya baru diadakan setelah pemerintah Republik Indonesia dikembalikan ke Ibukota Yogyakarta. Sedangkan pihak Belanda ingin pihak Republik Indonesia menghentikan perang gerilya terlebih dahulu.
Pada 6 Mei 1949, Mohammad Roem sempat menemui Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta yang berada di pengasingan di Bangka untuk mengonsultasikan isi perjanjian yang akan disepakati. Soekarno dan Hatta menyatakan sepakat dengan isi pernyataan tersebut. Roem kembali ke Jakarta dan sehari kemudian menandatangani hasil perundingan tersebut.
Dalam perjanjian tersebut, delegasi Republik Indonesia menyatakan bersedia melakukan tiga hal. Pertama, mengeluarkan perintah kepada pengikut Republik Indonesia yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya. Kedua, bekerja sama mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan. Ketiga, turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, dengan tujuan mempercepat penyerahan kedaulatan Negara Indonesia Serikat tanpa syarat apapun.
Delegasi Belanda juga menyatakan sepakat. Mereka bersedia melaksanakan lima butir perjanjian. Pertama, menyetujui kembalinya Pemerintahan RI ke Yogyakarta. Kedua, menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan membebaskan semua tahanan politik. Ketiga, tidak mendirikan atau mengakui negara-negara yang ada di wilayah kekuasan RI sebelum 19 Desember 1948. Keempat, menyetujui keberadaan Republik Indonesia sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat. Kelima, berusaha menggelar KMB segera diadakan setelah pemerintah Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta.
Berdasar perjanjian tersebut, seluruh pasukan Belanda lantas ditarik dari Yogyakarta. Penarikan tersebut dilaksanakan pada 29 Juli 1949.
Pasukan Belanda meninggalkan Yogyakarta melalui Stasiun Tugu. Sultan HB IX betindak sebagai wakil dari pemerintah Republik Indonesia. Pasukan Belanda diangkut kereta api dari Stasiun Tugu Yogyakarta. Dalam penarikan ini, Sultan HB IX didampingi Letkol Soeharto dan Mayor Sarjono.
Pada hari itu, seluruh pasukan Belanda benar-benar meninggalkan Yogyakarta. Lantas, meninggalkan Indonesia.
Pada 6 Juli 1949, Presiden Soekarno dan Wapres Moh Hatta yang berada di Bangka kembali ke Yogyakarta. Mereka menuju Yogyakarta dengan menumpang pesawat terbang.
Empat hari berselang, 10 Juli 1949, Jenderal Soedirman memasuki Yogyakarta. Sebelumnya, dia memimpin perang gerilya. Jenderal Soedirman dan pasukannya disambut Sultan HB IX, yang disertai Letkol Soeharto.
Setelah itu, Jenderal Soedirman diterima oleh Presiden Soekarno dan Wapres Moh Hatta di Istana Gedung Agung Yogyakarta. Dalam kesempatan itu, hadir pula Letkol Soeharto dan Kolonel TB Simatupang. Ada pula dua ajudan Jenderal Soedirman yakni Kapten Soeparjo Roestam, dan Mayor Soeadi. (*/amd/fj)