GUNUNGKIDUL – Setidaknya, diperlukan waktu sedikitnya sembilan tahun lagi bagi pemerintah untuk meringankan beban warga dalam mengakses kebutuhan air bersih. Sembilan tahun sebelumnya, penduduk harus sabar dengan distribusi yang kerap ngadat dari perusahan daerah air minum (PDAM) maupun sistem pengembangan air minum pedesaan (SPAMDes).

Berdasarkan rencana pengembangan rencana induk sistem penyediaan air minum (SPAM), progresnya terbagi dalam lima tahap. Tahap pertama atau mendesak dilaksanakan pada 2018. Tahap kedua jangka pendek 2019-2021. Tahap ketiga jangka panjang pertama 2027-2031. Tahap kelima jangka panjang kedua 2032-2036.

Total kebutuhan air tahap mendesak di 2018 sebanyak 1.363 liter per detik dengan tingkat pelayanan 70 persen. Kebutuhan pelayanan 954 liter per detik.

Sedangkan PDAM mencapai 667,66 liter per detik dengan pelayanan 70 persen. SPAMDes mencapai 254,38 liter per detik dengan pelayanan 27 persen dan nonpelayanan 197,85 liter perdetik berupa droping air.

Tahap pertama hingga kelima direncanakan jauh lebih baik. Sebab, sudah tidak ada lagi agenda droping air.

Itu artinya masyarakat tidak akan kesulitan memperoleh air lagi. Termasuk masyarakat yang tinggal di zona merah atau daerah rawan kekeringan.

”Direncanakan mulai 2026 sudah tidak ada lagi droping air,” kata Kepala Bidang Cipta Karya Dinas Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPUPRKP) Gunungkidul Agus Subaryanta saat dihubungi kemarin (4/7).

Dihapusnya pola darurat droping air dalam rincian tabel tahapan pengembangan SPAM periode 2022-2026 merupakan kabar baik. Hal ini bisa diartikan pada 2006 tingkat kesulitan warga memperoleh air bersih sudah jauh lebih baik. ”Praktis nanti yang bergerak PDAM, SPAMDes, dan sejenisnya,” kata dia.

Penyediaan air minum di Gunungkidul terbagi dua yakni PDAM dan non-PDAM. Oleh sebab itu, DPUPRKP mengingatkan agar sambungan rumah dikontrol.

Sebab, pelanggan tidak mau tahu jika selama ini persoalan terletak pada sumber air. ”Pelanggan tentu inginnya buka keran jam berapa, ya mili (mengalir). Tuntutannya begitu. Sehingga harus disiasati dengan penyiapan manajemen, termasuk sumber daya alam. Mampu tidak?” ujarnya.

Program sambungan rumah diyakini bagus. Namun, program ini memerlukan persiapan menajemen yang lebih kompleks.

Khusus non-PDAM seperti SPAMDes dan semacamnya, DPUPRKP melalui Ciptakarya hanya membangun. Hal lain terkait pembinaan dan sebagainya dilakukan instansi lain.

”Saya yakin sudah ada (pembinaan) terhadap SPAMDes hanya mungkin belum tersampaikan saja. Mestinya ada,” ungkapnya.

Sementara itu, Kades Kampung, Kecamatan Ngawen, Suparna, mengatakan semua padukuhan di desanya ada potensi sumber air. Bahkan, ada beberapa di antaranya ada pengelolaan sumber air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

”Hanya saja, persoalannya ada pada kemampuan SDM (smber daya manusia) pengelola. Termasuk transparansi. Ini menjadi catatatan penting,” kata Suparna. (gun/amd/fj)