GUNUNGKIDUL – Pemkab Gunungkidul didorong mencari solusi mengatasi saluran irigasi yang tidak maksimal sehingga mengancam ketahanan pangan. Pemkab didesak untuk terus berinovasi.

Keberadaan lahan sebagai media tumbuh tanaman pangan belum digarap maksimal. Setiap kali musim kemarau tiba dipastikan selalu terjadi penyusutan produksi pertanian. Tertutama padi.

Apalagi, sebagian besar lahan pertanian di Gunungkidul merupakan tadah hujan. Lahan pertanian yang bisa panen sepanjang tahun hanya ada sejumlah kecil wilayah. Bisa dihitung jari.

Hanya enam kecamatan. Yakni, Kecamatan Ponjong, Semin, Wonosari, Playen, dan Patuk.

GRAFIS: (ERWAN TRI CAHYO/RADAR JOGJA)

Jumlah lahan yang dapat ditanami sepanjang tahun pun tidak terlalu luas. Luas lahannya rata-rata tidak mencapai ratusan hektare di kecamatan-kecamatan tersebut.

Kecamatan Semin hanya seluas 15 hektare saja yang bisa ditanami. Kemudian wilayah Kecamatan Ponjong sejumlah 90 hektare. Wonsari hanya 3 hektare.

”Tentu kami menghendaki ada terobosan dari pemerintah. Sektor pertanian ini sangat penting. Selama ini optimalisasi sumber air untuk pertanian minim,” kata anggota DPRD Gunungkidul Immam Taufik.

Terpisah, Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian dan Pangan Gunungkidul Raharjo Yuwono mengakui, pada musim kemarau lahan yang ditanami padi tidak sampai 500 hektare. ”Sekarang ganti ke tanaman palawija,” kata dia.

Bagaimana dengan pengelolaan sumber air untuk kebutuhan pertanian? Menurutnya, sejauh ini sumber air yang bisa dimanfaatkan sangat sedikit. Pemanfaatan melalui bantuan dari program dana alokasi khusus (DAK) berupa bantuan sumur bor dan mesin penyedot air.

”Jumlahnya tidak banyak. Di Gunungkidul hanya puluhan,” ujarnya.

Terkait ketersediaan air untuk pertanian, Raharjo menyatakan, bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Ada tiga pilar yang mestinya terus bersinergi dalam memajukan sektor pertanian. Itu mulai Mulai dari pemerintah, swasta, dan masyarakat.

”Kalau hanya mengandalkan pemerintah, tidak mampu. Anggaran kita kecil di APBD,” ungkapnya.

Jika ada dukungan bantuan dari pemerintah pusat dan pemerintah provinsi pun harus antre. Meski demikian, dia menegaskan situasi demikian tidak boleh dikeluhkan. Sumber daya yang ada kudu dimaksimalkan.

Apalagi, wilayah Gunungkidul secara geografis ”terjal”. Selain itu, sektor pertanian selalu bermasalah setiap terjadi kemarau ekstrem.

”Tahun-tahun sebelumnya, target produksi kami tercapai. Namun tahun ini, pada musim tanam kedua kacau. Kemarau datang lebih cepat sehingga mengganggu produksi. Ini kendala alam. Tidak hanya dialami Gunungkidul,” bebernya.

Sebagai solusi atas musim kemarau, petani beralih ke tanaman palawija. Sekarang petani mulai panen ubi kayu.

Per hektare dapat menghasilkan ubi antara 168 kuintal hingga 200 kuintal. Tiap hektare ditanami antara 2.500 sampai 3.000 pohon.

Ubi yang dihasilkan lantas diolah menjadi gaplek. Dikeringkan dengan cara dipanaskan dengan sinar matahari.

”Harga gaplek Rp 2.500 sampai Rp 3.000 per kilogram. Harga ubi basah Rp 1.500 sampai Rp 2.000 per kilogram,” ucapnya. (gun/amd/zl)