JOGJA – Pemprov DIJ serius untuk membangun kembali Pojok Beteng Timur Laut atau Jokteng Gondomanan. Tim Appraisal sudah mulai melakukan pengukuran ulang tanah dan bangunan milik warga di sana Kamis (11/7).
Tim appraisal didampingi petugas kepolisian dan Satpol PP saat berkeliling ke pemukiman. Kepala Bidang Penatausahaan dan Pengendalian Pertanahan Dinas Pertanahan dan Tata Ruang (Dispetaru) DIJ Agus Triono Junaedy menyebut pengukuran ini dilakukan setelah adanya pertemuan warga bersama Sekprov DIJ Gatot Saptadi, akhir Juni lalu.
Menurut dia, dalam pertemuan itu Pemprov DIJ memfasilitasi warga terdampak untuk berdialog bersama mengevaluasi kebijakan penilaian harga tanah yang ditawarkan oleh tim appraisal. Termasuk melakukan pengukuran ulang sebagai dasar penentuan harga yang layak.
“Karena selama ini masyarakat belum pernah diukur walaupun sudah ada bukti-bukti,” tutur Agus ketika ditemui di ruang kerjanya Kamis (11/7).
Ada beberapa indikator untuk menentukan harga appraisal. Agus menjelaskan mulai dari pendekatan harga pasar. Juga luas tanah, luas bangunan, kualitas lantai mulai dari keramik atau granit marmer, kualitas bangunan, bangunan lama maupun bangunan baru. Dan juga dengan perhitungan non fisik. “Kalau ada usaha itu nanti dihitung lagi, penghasilan rata-rata dihitung setahun berapa,” tambahnya.
Perhitungannya rekonstruksi Jokteng Gondomanan berdampak pada 13 kepala keluarga. Luasanya, kata dia, bermacam-macam. Mulai dari luas 30 meter persegi, bahkan sampai 424 meter persegi.”Yang menentukan besarannya itu tim appraisal, kami juga enggak tahu. Tapi perbidang itu rata-rata berbeda, yang membedakan itu non fisiknya,” tuturnya.
Hasil perhitungan tim apprisal,lanjut Agus akan diserahkan ke Badan Pertanahan Nasional. Jika sudah sesuai dengan sertifikat akan dijadikan sebagai dasar guna langkah selanjutnya oleh tim penilai. “Waktunya seminggu atau kurang kami enggak tahu, tapi satu dua hari kedepan diolah BPN. Mungkin senin kami sudah dapat data baru, kami juga belum pasti,” jelasnya.
Salah satu warga terdampak, Nazam mengharapkan pendekatan yang dilakukan Pemprov DIJ bisa mensejahterakan warga bukan penggusuran. “Akan sakit sekali, apalagi dampak psikologis yang sudah berpuluh-puluh tahun di sini,” ujarnya.
Pemilik usaha konveksi peci dan topi unik itu menyebut, sebagai pelaku usaha tidak bisa semudah mencari tempat usaha yang baru. Tempat usahanya dengan luas bangunan 180 meter persegi yang dirintisnya itu sudah berjalan generasi ke tiga. “Bisa saja cari lahan baru, tapi butuh proses lagi apalagi kalau ganti untungnya itu gak sesuai dengan harapan,” ujarnya.
Dalam sebulan dia memproduksi topi unik 30 sampai dengan 60 buah. Per topi di bandrol dengan harga Rp 270 ribu-Rp 300 ribu. Jika dijual secara grosir per topinya di bandrol seharga Rp 220 ribu. Rata-rata dalam sebulan omset yang didapat dalam usahanya itu senilai Rp 3 juta. “Rezeki kan pasti datang dari Allah, tapi tidak menutup kemungkinan tempat usaha itu menjadikan faktor saya mencari rezeki itu. Kami belum ada gambaran mau pindah kemana,” ungkapnya pasrah. (cr15/pra/er)