Marcelino Bima Gusti Hartono terlahir sebagai penyandang tuna netra lumpuh cacat fisik. Tapi dalam keterbatasannya dia pengagum sosok mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD. Ekspresi mukanya berubah riang saat mendengar suara pidato Mahfud MD.

WINDA ATIKA IRA PUSPITA, Jogja

Keseharian Marcelino hanya ditemani bersama kakek dan neneknya. Pada keduanya pula, Marcel begitu dia kerap disapa, sering meminta untuk didengarkan pidato seorang politisi yang juga akademisi asal Madura, Mahfud MD. Kekagumannya terhadap sosok Mahfud MD karena pidatonya yang membawa semangat nasionalisme.

“Suka, suka, suka,” begitu sautannya ketika Radar Jogja mencoba mendatangi rumahnya, Senin (14/7).

Meskipun kedua matanya tak mampu melihat, kedua kakinya tak mampu berjalan, tapi kedua telinganya mampu bekerja dengan tajam mendengarkan setiap suara. Pun mulutnya yang mampu meminta pertolongan kepada kakek dan neneknya.

“Mahfud MD, aku mau Mahfud MD,” permintaan Marcel kepada neneknya untuk memutar pidato MD di televisi.

Di rumah sederhana mereka yang beralamat di Cokrokusuman, RT 43/RW 09, JT II 688, Jogja itu Marcelino sehari-hari beraktivitas. Dia rutin setelah mandi pagi berjemur, mendengarkan rekaman siraman rohani dan musik kesukaannya. Yakni dangdut, koplo, dan campursari.

Laki-laki usia 18 tahun itu, merupakan remaja penyandang tuna netra dan lumpuh sejak lahir. Marcel lahir dengan berat badan sangat rendah. Di bawah 1,5 kilogram. Sebab dia lahir secara prematur dengan masa kehamilan kurang dari 37 minggu atau belum cukup bulan.

Suyati, sang nenek yang merawat Marcel selama 15 tahun terakhir mengatakan, selama tiga tahun usia kelahirannya dia diasuh oleh orangtuanya. Tapi arena orangtuanya tidak mampu merawatnya, kata Suyati Marcel sempat akan diserahkan ke panti asuhan khusus penyandang disabilitas. Namun akhirnya dia tidak rela cucunya itu dirawat oleh orang lain. Sejak itulah nenek usia 63 tahun itu mengambil alih untuk merawat Marcel.

“Saya gak tega cucu saya dirawat orang lain, walaupun dengan kondisi seperti itu tapi hanya kamilah yang tahu keinginan Marcel,” tutur Suyati.

Selama 15 tahun itulah, remaja yang tidak suka mendengarkan musik secara keras dirawat nenek dan kakeknya di dalam rumah sederhananya berukuran 3X3 meter. Lantaran orangtuanya bekerja di luar kota.

Bersama suaminya Sutrisno, Suyati kini yang bertanggung jawab atas Marcel. Meski kondisi badannya yang tak sesehat dulu, Suyati yakin masih merasa mampu menjaga dan merawat sang cucunya itu.”Ya kalau dia mau ke kamar mandi yang susah karena berat harus gotong,” ungkapnya.

Untuk makan sehari-hari Marcel pun mudah. Yaitu nasi, bawang, garam, tempe goreng, mendoan, dan beberapa biskuit. Sutrisno menimpali, “Apapun makanannya yang penting harus ada susu formula.” “Dia suka banget dengan susu tidak mau minum yang lain, setiap waktu harus dibuatkan susu,” tambah kakek 64 tahun itu.

Namun, selama dua tahun belakangan susu formula yang dinilai cocok untuk pertumbuhan tulang cucunya itu, tidak lagi diterimanya. Lantaran sejak 2010 selama empat bulan sekali Marcel, yang hanya mampu duduk tanpa penyangga selama lima menitan itu, menerima bantuan penyandang disabilitas senilai Rp 1,2 juta dari Kementrian Sosial. Bantuan uang tersebut dinilai kurang, kalau hanya untuk membeli susu favorit Marcel. “Uangnya juga untuk keperluan Marcel lainnya,” kata dia.

Selama bantuan itu mengucur kepada Marcel, kata Kakek yang berkeseharian jualan soto ayam itu, cucunya mengalami pertumbuhan yang baik dan meningkat. Mulai dari daya tahan tubuhnya, berat badannya, kekuatan maupun pergerakan tulang.Sebagai pengganti, Suyati dan Sutrisno hanya memberi susu formula biasa yang semampu mereka dengan harga Rp 8 ribu per bungkusnya, “Karena anaknya tidak bisa tidak minum susu, harus ada susu. Ini cocok, tapi tidak ada fungsinya sama sekali,” imbuh Sutrisno.

Itu terpaksa, karena penghasilan Sutrisno pun tak menentu. Dia menyebut hanya Rp 60 ribu per hari. Karena kondisi kesehatannya yang tak mampu lagi bekerja secara berat, pun Suyati maka warung sotonya kadang buka kadang tidak lantaran tenaganya. “Ibunya Marcel juga hanya bekerja nunggu konter tiap bulan ngirimi tapi ya ndak cukup. Bapaknya sudah cuek dengan Marcel,” tambah dia. (pra/er)