JOGJA- Tingginya angka gini ratio (ketimpangan) dan kemiskinan selama lima tahun terakhir selalu membayangi DIJ. Selama ini, pengukuran kemiskinan sebanyak 72 persen dilihat dari indikator konsumsi makanan. Pola makan dan gaya hidup masyarakat yang berubah harus juga diselaraskan.
“Sesuai standarnya, penilaian hanya dilakukan pada konsumsi makanan sebesar 2.500 kalori. Tapi saat ini masyarakat yang miskin atau tidak, telah mengganti kalori dengan makanan yang lebih menyehatkan dan cenderung lebih murah,” jelas Dosen Manajemen dan Kebijakan Publik UGM Agus Heruanto Hadna ketika dikonfirmasi Rabu (17/7).
Dia mempertanyakan penetapan 11,7 persen penduduk DIJ memang masuk dalam kategori miskin atau tidak. Karena temuan di lapangan, khususnya di desa, masyarakat yang masuk kategori miskin menurut BPS, adalah masyarakat yang juga memiliki aset tanah dan rumah. “Jika diukur dari konsumsi makanan, mereka miskin. Namun jika diukur dari aset yang dimiliki, mereka tidaklah miskin,” tambahnya.
Dia juga menyoroti masih adanya masyarakat yang mengaku-aku miskin.Selain itu, kemiskinan dijadikan suatu komoditas oleh elite politik untuk merekrut konstituen demi memenuhi kebutuhan politik. “Masyarakat yang tidak seharusnya mendapatkan bantuan juga ikut mendapatkan. Terjadilah exclusion error,” ungkap Agus.
Menurut dia, mengubah indikator yang digunakan, akan memudahkan pemerintah mencatat masyarakat yang memang masuk dalam kategori miskin. Untuk nantinya mengeluarkan program yang sesuai untuk membantu mengentaskan persoalan kemiskinan.
Program pengentasan kemiskinan itu yang dijawab DPRD DIJ periode 2014-2019 dengan melahirkan Raperda tentang Penanggulangan Kemiskinan. Mereka ingin mendorong percepatan kinerja Pemprov DIJ menangulangi kemiskinan.
“Sesuai RPJMD 2017- 2022, kemiskinan DIJ ditargetkan turun dari 12,6 persen menjadi 7 persen,” ujar Ketua Pansus Raperda Penanggulangan Kemiskinan DPRD DIJ Danang Wahyu Broto ditemui di DPRD DIJ Rabu.
Raperda Penanggulangan Kemiskinan merupakan inisiatif dewan. Pemrakarsanya Komisi D DPRD DIJ. Raperda itu telah disetujui dibahas bersama dengan Pemprov DIJ sejak 4 Maret lalu. Namun hingga lebih dari tiga bulan pansus itu berjalan terengah-engah. Akibatnya pembahasan mandek alias jalan di tempat. “Banyak jalan terjal yang harus kami lewati. Eksekutif (Pemprov DIJ, Red) sepertinya kurang semangat membahasnya,” ungkap Danang.
Politikus Partai Gerindra itu menyebut percepatan penuntasan kemiskinan, pemprov harus berkolaborasi dengan dunia usaha. Khususnya melalui program corporate social responsibility. Raperda penanggulangan kemiskinan juga memberikan solusi bagi warga miskin yang ingin mendirikan usaha.
Terpisah, Sekprov DIJ Gatot Saptadi menampik tudingan pihaknya ogah-ogahan membahas raperda penanggulangan kemiskinan. “Kami tetap semangat. Kapan diselesaikan, ayo. Kami siap saja, kapan pun,” tantang Gatot.
Birokrat yang akan purna tugas per 1 Oktober 2019 ini menegaskan semua materi yang dikupas di raperda penanggulangan kemiskinan sesungguhnya telah dijalankan pemprov. Bahkan di berbagai perda maupun peraturan gubernur telah mengatur hal senada. Meski sudah diatur, Gatot tak keberatan hal itu ditegaskan ulang di raperda penanggulangan kemiskinan.
“Nantinya perda penanggulangan kemiskinan menjadi payung bagi perda maupu aturan lain yang sudah berjalan. Bagi kami tak ada persoalan,” ungkap pejabat yang berulang tahun setiap 2 September ini. (cr7/kus/pra/fj)