Shinta Ratri tak mengira apa yang dilakukannya mengelola pondok pesantren waria bakal berbuah penghargaan dari Front Line Defenders, salah satu organisasi internasional untuk perlindungan pembela HAM yang berbasis di Irlandia. Ia dinilai telah memperjuangkan kaum waria dalam mendapatkan hak beribadah.
WINDA ATIKA, Jogja
Tidak mudah untuk mencari Ponpes Al Fatah. Radar Jogja harus menyusuri gang-gang kecil yang di kanan kiri banyak deretan rumah joglo dan bangunan bersejarah khas Kotagede.
Sore itu, terdengar lantunan ayat-ayat suci Alquran di salah satu rumah joglo di kawasan Celenan itu. Kegiatan mengaji pun baru saja dimulai di rumah joglo bercat putih hijau.
Terlihat seorang perempuan berjilbab merah dengan balutan gamis keluar dari rumah itu. Berpenampilan sedikit berbeda dari perempuan lain, dialah Shinta Ratri, pimpinan Ponpes Waria Al Fatah.
Shinta mengaku mengalir saja dalam mengelola ponpesnya. “Oleh karena itu saya juga tak menyangka dapat penghargaan itu. Saya tidak pernah memikirkan bahwa ini dikatakan saya sedang memperjuangkan HAM,” ujar Shinta.
Atas penghargaan itu, organisasi internasional yang berpusat di Irlandia itu memberikan program save and security, berupa bantuan dana sebesar 6500 Euro atau sekitar Rp 100 juta. “Nanti bulan Oktober baru saya berangkat ke Irlandia,” katanya.
Shinta bercerita, ponpes yang dipimpinnya berdiri sejak 2008 silam. Berawal dari keinginannya mencari wadah hanya untuk memenuhi kebutuhan spiritual sebagai manusia biasa. Ia mengaku tak mudah ketika harus bangkit dari perlawanan sekelompok masyarakat pada tahun 2016.
Pada saat itu, Al Fatah diprotes dan diminta tutup karena beberapa alasan. Salah satunya dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang tidak mengakui keberadaan transgender, termasuk keberadaan para waria. “Saat itu hak kita untuk beribadah, berkumpul, berekspresi, belajar, harus ditutup paksa,” kenang Shinta.
Menghadapi itu, Shinta berusaha tenang. Pada akhirnya ia bisa merebut ruang demokrasi itu kembali. “Karena ruang itu sudah direnggut, kami rebut kembali. Subhanallah kami sampai sekarang bisa berkegiatan lagi seperti biasa,” terangnya.
Ia pun terus memperjuangkan hak-hak atas kawan-kawannya itu. Karena pada dasarnya, ketika seseorang dilarang beribadah dan berkumpul karena statusnya waria, hal itu yang kemudian membuatnya agar terus berusaha untuk melawan.
Menurut Shinta, meskipun waria terlahir dari seorang laki-laki dengan naluri keperempuanan, ia juga butuh belajar agama Islam. Baginya, waria juga sebagai makhluk Tuhan yang berhak diperlakukan sama seperti warga lainnya, termasuk dalam hal beragama.
“Kenapa kita ini juga sama-sama manusia, kenapa kami gak boleh beribadah. Padahal kita ini menjadi waria bukan pilihan kami, tapi suatu takdir yang sudah digariskan dan kita tinggal menjalani saja,” katanya.
Shinta menegaskan waria tak sepenuhnya bisa disalahkan atas semua suratan buruk yang menimpa mereka. Di sisi lain, tidak sedikit waria disingkirkan oleh keluarga mereka, kemudian mengalami konflik batin maupun diperlakukan buruk oleh lingkungan.
Konflik ini sama sekali tidak mudah diterima, yang berdampak pada moralitas mereka menjadi waria jalanan. Untuk beribadah saja, yang merupakan hak dasar manusia, sulit untuk dipraktikkan para waria. Mereka dicibir, diteriaki, dan dibicarakan secara bisik-bisik di belakang punggung.
“Mereka merasa tidak nyaman beribadah di tempat umum. Padahal kawan-kawan waria juga manusia yang ingin beribadah,” kata Shinta. Ia pun harus membuktikan bahwa Islam menjadi rahmat seluruh alam, termasuk para waria. Dirinya harus mencari di mana sesungguhnya penerimaan Islam terhadap komunitas waria.
Aura-aura positif itu terpancar pada setiap insan waria di ponpes ini. Satu per satu, waria yang mengenakan busana muslim layaknya perempuan, melantunkan ayat demi ayat. Tak banyak dari mereka masih tersendat-sendat. Pun tak sedikit yang lancar membaca lantunan ayat suci itu.
“Mereka ini juga butuh siraman rohani, jadi kenapa mereka ada di sini. Kawan-kawan waria ini juga butuh perhatian karena kebanyakan dari mereka ini hidup di jalan dan tidak diterima di keluarganya. Dan wadah mereka ketika salat ibadah di ruang publik, itu juga tidak memungkinkan,” kata Shinta.
Oleh karena itu khusus di hari Minggu, mereka belajar agama Islam. Para pendamping atau ustadanya pun kapabel, antara lain, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Alquran, UIN Sunan Kalijaga, dan Ponpes Krapyak.
“Kami tidak butuh popularitas atau disiarkan. Yang penting kebutuhan ini dapat kami layani, terutama kebutuhan ruang nyaman untuk kawan-kawan waria beribadah,” tambah Shinta.
Santri waria ada 42 orang yang memiliki berbagai latar belakang beragam. Mulai dari karyawan salon, pelayan toko, penjual sayur, sales, pekerja LSM, dan lain sebagainya. “Kami dulu hanya beranggotakan 20 orang. Tapi karena banyak teman-teman yang butuh siraman rohani, sekarang semakin bertambah,” ujarnya.
Di tempat inilah para waria dari Bantul, Sleman, Kulonprogo, dan Kota Jogja, berkumppul untuk belajar ilmu agama. Kelasnya berbeda-beda, mulai kelas dasar yaitu kelas bacaan salat, kelas surat-surat pendek, kelas Iqra. Juga ada kelas tajwid bagi yang sudah mahir membaca Alquran.
Usai berjamaah Magrib, mereka lanjut belajar kitab kuning oleh seorang ustad hingga berjamaah Isya dan kemudian makan malam. Shinta pun tak memaksa bagi waria yang belum membutuhkan siraman rohani. Sebab, pesantrennya hadir bukan untuk memaksa, melainkan membantu hak mereka untuk beribadah.
“Pesantren ini saya pikir pantas dan layak menjadi ruang mereka biar lebih nyaman dalam menghamba kepada Allah,” jelas Arif Nuh Safri, ustad yang membimbing dan mendampingi para waria di Ponpes Al Fatah dalam beribadah.
Arif mengatakan, ketika ia datang ke pesantren ini dan melihat langsung mereka, betapa nampak keinginan besar para waria untuk belajar agama. Menurutnya, setiap manusia, apa pun statusnya, laki-laki atau perempuan, pun waria, pasti akan memiliki keinginan kuat dekat dengan Tuhannya dalam benak hatinya.
Seiring mengajar kajian di situ, Arif selalu tekankan dalam ibadah yaitu terlebih dahulu menciptakan kenyamanan. Meskipun mereka waria ataukah yang merasa tidak nyaman dengan kewariaannya, segeralah berproses diri untuk beribadah.
Di Ponpes Al Fatah, selain belajar ilmu agama, para santri waria juga melakukan berbagai kegiatan lain. Misalnya bakti sosial, sekolah sore (belajar memasak, hidroponik, kreasi hijab, dan lain-lain), dan berbagai kegiatan inklusi.
“Harapan saya dengan kegiatan ini kesejahteraan atau kemapanan secara ekonomi mereka meningkat. Kami percaya kemapanan hidup itu berbanding lurus dengan kesempatan beribadah,” ujar Shinta. (laz/rg)