Krisis politik selalu mewarnai Kerajaan Mataram setiap kali terjadi suksesi. Sejarah selalu saja terulang. Tak hanya saat berpusat di Kotagede. Saat ibu kota pindah ke Kerta, Plered, dan Kartasura, krisis itu kembali terjadi. Elite-elite Mataram rupanya tidak bersedia belajar dari pengalaman sebelumnya.

Ketika Mataram di Kartasura, konflik politik terjadi pascawafatnya Susuhunan Amangkurat II. Pihak yang terlibat adalah putra mahkota melawang sang paman, Pangeran Poeger. Putra mahkota memiliki nama kecil Raden Mas (RM) Sutika.

Babad Tanah Djawi  menceritakan, semasa hidupnya Amangkurat II  punya beberapa orang istri. Namun dia hanya punya seorang anak laki-laki dari permaisuri. Itu terjadi karena ibu putra mahkota telah mengguna-guna istri-istri Amangkurat II lainnya.

Akibatnya, mereka menjadi mandul. RM Sutikna juga kerap dijuluki Pangeran Kencet. Dia menderita disabilitas di bagian tumit. Nantinya saat bertakhta, Sutikna bergelar Amangkurat III alias Sunan Mas atau Sunan Kencet.

Sebelum naik takhta menggantikan ayahnya 1703, Amangkurat III merupakan menantu dari Poeger. Kedudukannya keponakan sekaligus menantu. Putra mahkota yang bergelar Pangeran Adipati Anom menikahi sepupunya Raden Ayu Lembah. Istrinya itu kemudian dicerai karena berselingkuh dengan Raden Sukra, putra Patih Sindureja.

Adipati Anom kemudian mengawini Raden Ayu Himpun, adik Raden Ayu Lembah. Himpun diangkat menjadi permaisuri. Namun, usia perkawinan kedua tidak panjang. Amangkurat III kembali mengadakan reshuffle permaisuri.

Sebagai gantinya, Sunan Mas mengangkat permaisuri baru dari Desa Onje, Banyumas. Sebuah tradisi baru terjadi. Permaisuri raja bukan keturunan raja. Namun dari rakyat kebanyakan.

Konflik antara Amangkurat III melawan Poeger makin mengeras. Jauh sebelum bertakhta, Sunan Mas telah menjalin persahabatan dengan Bupati Pasuruan Untung Suropati. Jalinan itu terjadi sejak Untung Suropati lari dari Batavia dan meminta perlindungan ayahnya.

Persahabatan antara Sunan Mas dan Untung Suropati itu disampaikan Poeger saat mengungsi ke Semarang. Ini menyusul ancaman terhadap Poeger dan keluarganya dari rezim Amangkurat III. Saat berada di markas VOC, Poeger menyampaikan keponakan dan mantan menantunya adalah musuh bersama. Sebab, dia telah bersekutu dengan Untung Suropati.

Kepada VOC, Poeger meyakinkan banyak pejabat-pejabat Mataram tidak menyukai kepemimpinan Amangkurat III. Mereka lebih mendukung ke Poeger agar memimpin Mataram. Kepada VOC, Poeger minta agar kedudukannya sebagai raja diakui.

Poeger kemudian mendeklarasikan sebagai raja Mataram di Semarang pada Juni 1704 atau setahun usai Amangkurat III naik takhta. Gelarnya bukan lagi Amangkurat. Melainkan Susuhunan Paku Buwono I. Dukungan terhadap Poeger dalam waktu singkat meluas. Bupati-bupati di pesisir menyatakan ikrar dukungan lahir dan batin berdiri di belakang Paku Buwono I.

Memasuki Agustus 1705 pasukan gabungan Jawa, Madura dan VOC bergerak menuju Kartasura. Jumlahnya lebih dari 50 orang. Ini tidak sebanding dengan kekuatan pasukan Amangkurat III. Sebulan kemudian pada September 1705, pasukan koalisi ini memasuki Kartasura tanpa mendapatkan perlawanan berarti. Paku Buwono I berhasil menduduki takhta. Terdongkel dari singgasana, Amangkurat III lari ke Jawa Timur. Dia meminta perlindungan kepada Untung Suropati. (zam/er)