JOGJA – Polisi tidak selalu identik dengan garang dan tegas. Sosok polisi juga wajib humanis dalam melakukan pendekatan. Seperti yang dilakukan belasan personel dari Polresta Jogja. Mereka kompak njatil di depan Gedung Agung Jogjakarta Kamis (23/7).

Belasan personel polisi terlihat memadati kawasan depan Gedung Agung. Bukan untuk kegiatan pengamanan. Tapi dengan mengenakan seragam mereka terlihat ikut njatil. Tak peduli pangkat, mereka terlihat rampak dan kompak. Mulai dari pangkat Brigadir Polisi Dua hingga Komisaris Polisi mereka larut dalam kesenian tradisi ini. Tak sendiri, para bhayangkara ini juga berkolaborasi dengan seniman tari Jogjakarta.

“Lumayan menguras tenaga karena gerakannya energik. Tapi justru enjoy dan semangat melakoninya,” kesan Kapolsek Kraton Kompol Etty Haryanti, ditemui usai njatil, Selasa sore (23/7).

Bertajuk ‘Polisi Sahabat Seniman Tradisional’, njatil diinisiasi para seniman. Terwujud dalam kolaborasi dua insan yang berbeda latar belakang. Aksi diawali dengan sebuah teatrikal. Saat sang Kapolsek sedang membantu anak SD menyeberang jalan.

Sejurus kemudian suara instrumen terdengar. Berlanjut dengan para polwan yang menari mengikuti irama. Di barisan terdapat seorang pria yang memandu gerakan. Selang waktu seluruh seniman, polisi bahkan warga yang melihat turut bergabung.

“Latihannya cuma satu kali, tapi yang namanya polisi harus serba bisa. Total ada tujuhbelas personel yang ikut. Gabungan dari Polsek Kraton dan Polresta Jogja,” jelasnya.

Etty menyambut baik kolaborasi ini. Meski diakuinya tak mudah bagi seorang polisi untuk menari. Untungnya gerakan flashmob bersifat rampak. Sehingga bisa diadaptasi dengan cepat. Walau begitu, baginya inti dari kolaborasi ini adalah sebuah persahabatan.

Tanpa ragu dia mengajak personel lainnya untuk turut serta. Menurut dia, berkesenian mampu menyeimbangkan otak kiri dan kanan. Selama bertugas, cenderung otak kiri yang bekerja. Sementara otak kanan mampu melatih sisi humanis.

“Jadi tidak kesannya polisi itu galak, seram padahal kalau diajak kegiatan seperti ini ya ayo-ayo saja. Bisa menyeimbangkan otak kanan dan kiri. Selain sebagai pengayom dan penegak hukum tidak hanya tegas tapi juga humanis,” ujar perwira menengah satu melati ini.

Otak dibalik kolaborasi ini adalah seorang Kuswarsantyo. Kesehariannya pria ini lebih akrab disapa dengan julukan dokter jatilan. Flashmob jatilan dia kemas dalam rentang waktu singkat. Dari segi gerakan tergolong sederhana.

Beberapa gerakan rumit dia singkirkan. Termasuk seremonial kesurupan. Ini karena konsep awal dari flashmob ini adalah persahabatan. Disisi lain juga untuk menghibur pengunjung semi pedestrian Selasa Wage Malioboro.

“Polisi ikut berperan tidak hanya sekedar mengamankan. Tidak ada kendala karena gerakannya sederhana. Buktinya sekali ketemu langsung bisa mengikuti,” jelas tenaga pengajar UNY ini.

FLASHMOB: Kolaborasi polisi dan seniman wujud sebuah persahabatan. (DWI AGUS/RADAR JOGJA)

Pria yang kesehariannya mengajar tari putra di Keraton Jogjakarta ini memastikan ada kegiatan serupa kedepannya. Terutama mengedepankan spontanitas di tempat publik. Tidak hanya peserta tapi juga keterlibatan warga.

Pemilik gelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Condro Waseso ini memandang jatilan adalah sebuah kekayaan budaya Indonesia. Alhasil dia memiliki strategi unik untuk menggaet para generasi milenial. Salah satunya mengemas dalam sebuah flashmob.

Baginya untuk melestarikan sebuah seni tradisi tak harus berpikir dengan cara tradisional. Langkah ini justru bisa membuat generasi kekinian enggan melirik. Inilah yang disebut olehnya sebagai sebuah dinamika.

“Edukasi kaum milenial agar paham seni tradisi bisa dikembangkan tidak stagnan tapi dinamis. Kuasai ruhnya dahulu baru mengembangkan. Ini juga salah satu strategi untuk melestarikan,” bebernya.

Itulah mengapa dia memiliki pola pandang yang luas. Meski statusnya sebagai pemucal atau pelatih tari Keraton melekat. Dia tak ingin berkutat pada sisi yang sama. Sebagai seorang akademisi, Kuswarsantyo terus mengembangkan ide kekinian.

“Jogjakarta itu punya potensi melimpah. Tradisi boleh tetap jalan tanpa terlepas dari pakem akar budayanya. Tapi juga harus jeli melihat perkembangan zaman,” pesannya. (dwi/pra/by)