Merawat lima ekor gajah tidaklah mudah dan sembarangan. Kepala Mahout  Taman Wisata Candi (TWC) Borobudur Winarto pun berbagi cerita bagaimana merawat dan melatih hewan berbelalai yang identik dengan badan besar itu.

AHMAD SYARIFUDIN, Magelang

Sore itu penulis diajak Winarto mengunjungi Lisi yang sedang asyik dimandikan oleh seorang pembantu Mahout. Di tempat terpisah, Bona kakinya dirantai. Winarto pun buru-buru memberikan penjelasan. “Harus dirantai dulu. Kalau dilepas semua, bisa berantem nanti,” ujarnya.

Tampak seorang pembantu mahout membawa bullhook, semacam tongkat dengan pengait tajam. “Itu hanya untuk berjaga-jaga saja. Kami juga tidak ingin menyakiti gajah. Kalau pun terpaksa digunakan, buru-buru kami beri pengobatan. Lihat saja, apa ada gajah di sini yang mengalami luka di bagian kepala? Enggak kan?” katanya.

Saya pun berusaha mencermati tiap kepala, ternyata perkataannya benar. Tak ada gajah yang kepalanya luka akibat bullhook itu. Winarto mengakui butuh kesabaran dan  ketelatenan dalam merawat gajah. Banyak suka dan duka selama 28 tahun ia bersama gajah-gajah itu.

Winarto sendiri menjadi mahout sejak gajah-gajah itu mulai menginjakkan kaki di Kompleks TWC Borobudur.  Waktu itu, tahun 1991 pemerintah Orde Baru menghibahkan gajah yang dipelihara sebelumnya dipelihara di Pusat Latihan Gajah (PLG) Way Kambas, Lampung, lantaran terlalu penuh. Zella merupakan gajah pertama yang mendiami TWC Borobudur.

Disusul Lisi setahun setelahnya. Lalu tahun 1999 datang Echa dan Bona. Terakhir Endra di tahun 2012. Berbeda dengan yang lain yang merupakan hibah langsung dari Way Kambas, Endra sebelumnya mendiami Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).

Endra pun sempat mendiami PLG untuk belajar bagaimana cara berinteraksi dengan salah satu mamalia darat terbesar ini. “Gajah itu hewan yang suka bergerak. Punya kekuatan yang sangat besar melebihi kuda. Zaman dulu biasa digunakan untuk mengangkut batu-batuan untuk bahan bangunan,” tuturnya.

Winarto mengatakan, sebelum PLG Way Kambas berdiri gajah dianggap sebagai hama. “Mereka merusak tanaman, mencuri hasil ladang. Oleh warga pun menjadi banyak diburu. Akhirnya pemerintah menangkap gajah-gajah itu untuk meredam bersitegang dengan warga,” tuturnya.

PLG Way Kambas yang kini berubah nama menjadi Taman Nasional Way Kambas, menampung gajah-gajah tersebut untuk melindungi spesies yang  bisa terancam punah itu. Mulai dari penjinakan, pelatihan, pengembangbiakan, dan konservasi dilakukan di sana.

Proses pengembangbiakan cukup berhasil, namun malah menemui masalah lain. Mulai tahun 1991 PLG Way Kambas tak mampu lagi menampung banyaknya gajah. Akhirnya, mereka menghibahkan gajah-gajah itu ke berbagai tempat konservasi di Indonesia, termasuk ke Candi Borobudur.

Di masa Dinasti Syailendra, gajah telah menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat. Ini terbukti dari pahatan gajah di beberapa bagian relief candi Buddha terbesar di dunia itu. Mamalia ini konon dipercaya jelmaan dari Bodhisatwa dalam cerita Jataka.

Relief itu menggambarkan gajah sebagai alat transportasi. Keberadaan mereka di TWC Borobudur pun seakan menggambarkan kembali bagaimana masyarakat waktu itu memiliki relasi yang kuat dengan hewan ini. (laz/er)