TAKHTA Kerajaan Mataram diduduki Susuhunan Amangkurat IV kurang dari sepuluh tahun. Raja yang populer dengan sebutan Sunan Mangkurat Jawi itu meninggal pada 1726. Dia berkuasa sejak 1719, menggantikan ayahnya, Susuhunan Paku Buwono I.

Amangkurat IV meninggal karena penyakit misterius. Ada laporan raja meninggal karena diracun. Penyakit raja keempat Mataram Kartasura ini mengalami sakit perut yang akut. Raja curiga karena diracun atau ada kekuatan supranatural. Pihak yang dicurigai tertuju kepada Patih Danureja. Sosok yang semula bernama Cakrajaya.

Kecurigaan lain mengarah pada konspirasi sejumlah bupati pesisir. Seperti Bupati Pekalongan Jayaningrat, Bupati Batang Puspanegara, Bupati Jepara Citrasoma, dan Bupati Kudus Arya Sentika. Istana juga mencurigai Bupati Madura Cakraningrat.

Para bupati itu diminta bersumpah. Menanggapi permintaan itu, para bupati itu membalas dengan mengirimkan surat. Mereka kompak menyatakan tidak tahu menahu dengan penyakit Amangkurat IV. Mereka berani bersumpah tidak pernah meminta bantuan ke dukun untuk menyantet raja Mataram.

Menjelang ajal, Amangkurat IV memanggil Danureja. Sang patih diminta menyurati Kompeni. Sunan berwasiat agar Pangeran Mangkunegara (Kartasura), putra sulungnya, ditunjuk menjadi pengganti. Jika Mangkunegara berhalangan, maka calon berikutnya adalah Pangeran Prabasuyasa yang telah diangkat menjadi putra mahkota. Bergelar Pangeran Adipati Anom.

Namun versi lain menyatakan Amangkurat IV sejak awal telah menetapkan Prabasuyasa. Calon cadangannya, Pangeran Buminoto. Berikutnya Pangeran Loring Pasar. Mangkunegara tak pernah masuk daftar yang ditunjuk ayahnya. Itu karena hubungan Mangkunegara dengan ayah kandungnya tidak pernah akur.

Mangkunegara lebih dekat dengan paman sekaligus ayah angkatnya, Pangeran Purbaya. Bahkan saat Purbaya bersama saudaranya, Pangeran Balitar, menggoyang kekuasaan Amangkurat IV, Mangkunegara tidak memihak ke ayah kandungnya. Dia lebih pro ke Purbaya. Ini menjadi penilaian raja tidak menunjuk ayah RM Said itu.

Kelak RM Said lewat Perjanjian Salatiga 17 Maret 1757 diangkat Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara I. Anak Pangeran Mangkunegara (Kartasura) ini menjadi penguasa Dinasti Mangkunegaran.

Kembali ke suksesi Mataram Kartasura, setelah Amangkurat IV wafat, peran sentral dimainkan Permaisuri Kanjeng Ratu Amangkurat. Ibu Suri ini segera mengatur strategi. Dia mengawal jalannya sukses. Kanjeng Ratu Ageng ini, demikian sapaan akrabnya, memerintahkan Patih Danureja memanggil pasukan VOC guna mengamankan istana.

Saat itu juga semua pejabat dan keluarga kerajaan dilarang meninggalkan istana. Pangeran Mangkunegara mendapatkan pengawalan khusus di bawah todongan senjata pasukan VOC. Mangkunegara tidak bisa bergerak. Padahal Mangkunegara punya pendukung  cukup besar.

Setelah semua dinyatakan aman dan terkendali, Pangeran Adipati Anom ditetapkan sebagai pengganti. Upacara jumenengan (penobatan) diselenggarakan pada Minggu 2 Juni 1726. Bertepatan dengan rakyat Mataram merayakan Idul Fitri.

Raja baru ini bergelar Susuhunan Paku Buwono Senapati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama ingkang Jumeneng Kaping Kalih ing Negari Mataram. Selanjutnya, dikenal dengan sebutan Paku Buwono II. Gelar ini sama yang dipakai kakeknya, Paku Buwono I. Bukan mengikuti gelar sang ayah.(yog/rg/bersambung)