KEDATANGAN kapal-kapal Tiongkok ke Jawa terus meningkat. Terutama sejak jatuhnya kekuasaan Dinasti Ming. Perdagangan antara Tiongkok dan Asia Tenggara dibuka kembali. Termasuk dengan Jawa pada 1683.

Kebanyakan kapal-kapal dari Negeri Tirai Bambu itu berlabuh di Banten atau Batavia. Kapal-kapal itu  menurunkan para imigran di dua pelabuhan tersebut. Khusus yang ingin ke Semarang dan sekitarnya, VOC telah membangun gedung besar bernama Loji Semarang. Loji merupakan bangunan berdinding tembok permanen.

Tidak semua imigran Tiongkok berprofesi pedagang. Sebagian ada yang menjadi petani, tukang, dan perajin. Kedatangan tukang dan perajin asal Tiongkok membuat perubahan besar di Jawa. Mereka mengenalkan teknologi baru.

Awal abad ke-18, orang-orang Tionghoa mulai membangun rumah berdinding bata dan beratapkan genting. Sejak itu tumbuhlah perajin batu bata dan genting dari Tiongkok. Terjadi akulturasi budaya. Misalnya tungku disebut orang Jawa anglo. Kata itu berasal dari bahasa Hokkian, hang low.

Ketika merantau, imigran Tiongkok tidak didampingi istri. Itu menyebabkan terjadinya perkawinan campur dengan perempuan Jawa. Anak-anak dari perkawinan itu dinamakan Tionghoa Peranakan.

Yang laki-laki disebut Babah dan perempuan dinamakan Nyonya. Asal usulnya dari kata Niowa yang berarti wanita. Perempuan Jawa yang menikah dengan orang Tioghoa biasa disapa Nyah Nganten.

Dari kata nyonya dan nganten. Gelar perempuan Jawa untuk level cicit bangsawan.

Pembauran orang Jawa dan Tionghoa itu sangat ditentang VOC. Sebab, Kompeni merasa kehilangan penghasilan pajak terhadap orang-orang Tionghoa. Setelah membaur status mereka sama dengan Bumiputra. Tidak kena pajak karena bukan lagi orang asing.

Orang-orang Tionghoa banyak tinggal di pesisir pantai utara. Hak penguasaan tanah didapat dengan cara menyewa dari Kerajaan Mataram. Di wilayah Batang dan Pekalongan, misalnya. Dikenal sebagai lumbung beras Mataram. Belakangan, keluarga Tionghoa yang menyewa itu kemudian memakai nama Jawa. Yakni Jayaningrat dan Puspanegara.

Di masa Sunan Amangkurat IV, Jayaningrat diangkat menjadi bupati pesisir barat. Salah satu anaknya menikah dengan putri Patih Danureja di era Paku Buwono II. Kakak Jayaningrat, Puspanegara, diangkat sebagai bupati Batang.

Keturunan Tionghoa lainnya menjadi pejabat Aparatur Sipil Mataram (ASM) adalah Astrawijaya. Dia menjabat bupati Semarang. Jauh sebelumnya, Sultan Agung pernah mengangkat Cik Go Ing menjadi bupati Lasem. Dia diberi gelar Martoguno.

Pengaruh keluarga Jayaningrat di pantai utara semakin hari bertambah kuat. Bahkan meluas hingga Tegal. Itu menjadi perhatian Paku Buwono II. Mataram berupaya mengurangi dominasi itu. Sunan berencana merotasi bupati Tegal pada 1726. Kartasura ingin menempatkan orang yang tidak ada hubungannya dengan Jayaningrat.

Pejabat yang ditunjuk adalah Demang Tirtanata. Penunjukan itu rupanya ditentang kelompok Jayaningrat. Massa pro Jayaningrat menyerang Tirtanata saat perjalanan menghadiri acara di Istana Kartasura.

Penempatan Tirtanata menjadi bupati Tegal terus digoyang. Aksi penolakan terus terjadi di Tegal.

Kartasura berusaha mengembalikan kedudukan Tirtanata. Namun selalu mengalami kegagalan.

Upaya VOC membantu menyelesaikan juga menemui jalan buntu. Akhirnya masalah Tegal diserahkan ke Patih Danureja.

Danureja lantas mengeluarkan maklumat demi menciptakan status quo. Isi maklumat berupa denda satu real bagi setiap kepala keluarga di Tegal. Mereka didenda karena dipersalahkan ikut demo menolak Bupati Tirtanata.(yog/rg/bersambung)