JOGJA – Jogja Cross Culture (JCC) 2019 resmi dibuka Sabtu (3/8) malam lalu. Oleh Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi. JCC 2019 yang berlangsung hingga Minggu (4/8) diawali dengan acara Festival Jamu (Jamfest) pada sore harinya. Digelar di kawasan Titik Nol Kilometer Jogja.
Sebelum membuka acara secara simbolis, Heroe Poerwadi menyempatkan mampir di stan-stan jamu.
Pembukaan acara ditandai dengan penyerahan delapan kayon dan satu karakter wayang Gatotkaca. Oleh Wakil Wali Jogja kepada lima dalang muda. Antara lain, Bumi Gedhe Taruna, Ganes Sutono, Bayu Probo, Sunu Prasetya, dan Bayu Gupito. Kayon juga diserahkan kepada tiga panjak, yakni Wahyu WIcaksono, Wahyu Prasetya Aji, dan Zudhistiro Bayu P. Mereka mementaskan wayang ukur dengan lakon Kacingjaya.
Acara tersebut merupakan kegiatan yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta. Dibiayai dengan dana keistimewaan (danais) DIY 2019. “Apa yang ada di Jogja Cross Culture adalah kultur-kultur yang ada di Jogjakarta dan sekitarnya. Baik kultur Nusantara maupun dari mancanegara,” ungkap Heroe.
Wayang ukur merupakan jenis wayang asli Kota Jogja. Wayang ini ditemukan dan dikembangkan oleh sang maestro wayang asal Kota Gudeg Sigit Sukasman.
Pentas wayang ukur memiliki konsep yang beda dari pagelaran wayang pada umumnya. Para penonton disuguhi panggung yang serba modern. Baik tata cahaya maupun suaranya. Di sela pentas dimunculkan karakter wayang orang.
Dalang juga lebih banyak bermonolog dengan bahasa Indonesia. Agar alur ceritanya lebih mudah dipahami. Terutama oleh orang luar Jawa maupun turis mancanegara yang menyaksikan pentas wayang tersebut. Seperti dituturkan Lailla Zikriya, mahasiswa asal Mamuju. Dia belum genap setahun tinggal di Jogja. Meski tak mahir bahasa Jawa, Lailla mengaku cukup paham dengan alur cerita wayang malam itu. “Sedikit-sedikit saya mengerti. Konsep panggungnya menarik, mirip seperti nonton di bioskop,” ujarnya. (cr12/yog/rg)