Erviko Andrea Prameswari Handoko pernah menolak untuk latihan. Dukungan kedua orang tua ikut mengantarkannya mengibarkan merah putih di Jerman.

ANA R DEWI, Jogja

USIANYA baru 16 tahun. Masih duduk di bangku SMA. Namun, koleksi medalinya sudah memenuhi seisi lemari. Mulai medali kejuaraan tingkat nasional hingga internasional.

Itulah Erviko Andrea Prameswari Handoko. Namanya cukup mashur di kalangan pecinta taekwondo di Jogjakarta.

”Ada 47 medali. Terbaru, medali perunggu di kejuaraan World Taekwondo Hanmadang, Korea Selatan dalam kategori poomsae individual female 2019,” tutur Dea, sapaan akrab Evriko Andrea Prameswari Handoko saat berbincang dengan Radar Jogja beberapa waktu lalu di rumahnya.

Dalam obrolan santai itu, Dea banyak menceritakan perjalanannya sebagai atlet taekwondo.

Perkenalannya dengan dunia seni beladiri itu saat berusia enam tahun. Mamanya yang memperkenalkan sekaligus mendorongnya. Alasannya, Dea kelewat aktif.

”Katanya, supaya punya kegiatan,” kenangnya terkekeh.

Dea kecil sempat menolak porsi-porsi latihan. Dea bahkan mulai malas dan jenuh. Sebab, porsi latihan fisik yang diberikan pelatihnya sangat berat. Namun, kedua orang tuanya tak patah arang. Untuk terus memompa semangatnya.

”Tapi pas sudah sabuk kuning, saya mulai menyukai dan tidak dipaksa lagi,” ujarnya.

Kerja keras tak pernah mengkhianati hasil. Dea kecil terpilih mengikuti training center (TC). Sebagai persiapan mengikuti kejuaraan. Dan, kejuaraan pertama taekwondo yang diikutinya di kampus Akakom. Delapan tahun lalu.

”Saat itu belum dapat medali,” tuturnya.

Namun, kejuaraan itu justru membuat Dea ketagihan. Setahun berselang, Dea kembali mengikuti kejuaraan.

”Dapat medali,” ucapnya semringah.

Kejuaraan demi kejuaraan lokal mengantarkan Dea menjajal kemampuan di tingkat internasional. Salah satu hasilnya, Dea membawa pulang medali emas di kejuaraan World Children Taekwondo Championship di Jerman pada 2013.

”Saat itu masih kelas IV SD,” jelasnya.

Di awal menapaki taekwondo, remaja putri yang tinggal di Patangpuluhan, Kota Jogja, ini menekuni kyorugi (fight). Namun, belakangan Dea banting setir. Dea fokus pada poomsae (gerakan).

Suka duka sebagai atlet pun dialami Dea. Salah satunya sering ketinggalan mata pelajaran di sekolah. Terutama saat mengikuti kejuaraan. Belum lagi, cedera ankle yang dialami dua tahun belakangan ini.

Kendati begitu, Dea merasa sangat bangga. Lantaran bisa berprestasi dan membanggakan kedua orang tuanya. Terlebih, saat bisa mengibarkan bendera merah putih di kancah internasional.

Di usianya yang masih belia, atlet yang aktif berlatih di Dojang Djowitan Taekwondo Club Jogjakarta ini ngebet ingin mewakili Indonesia. Di antaranya di ajang Sea Games dan Asian Games. Namun, Dea menyadari harus bersabar dulu. Umurnya belum memenuhi syarat kualifikasi.

Sebagai gantinya, Dea ingin bisa mewakili DIJ di berbagai pesta olahraga nasional. Seperti Popnas (pekan olahraga pelajar nasional), pra PON (prakualifikasi pekan olahraga nasional), dan PON. Hanya, peluangnya berkiprah di tingkat nasional itu terbentur dualisme kepengurusan induk cabang olahraga taekwondo.

”Ada UTI Pro dan PB TI,” sebut atlet yang tergabung di tim UTI Pro ini. (zam/by)