JOGJA – Kasus operasi tangkap tangan (OTT) Proyek Supomo oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka fakta lain. Keberadaan Tim Pengawal, Pengamanan Pemerintah, dan Pembangunan Daerah (TP4D), seakan tidak efektif. Alih-alih mengawasi pembangunan dan menegakkan aturan, justru menjadi celah untuk bermain mata.

Kasus ini seakan menjadi borok bagi Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Jogja maupun Kejaksaan Tinggi (Kejati) DIJ. Tameng hukum seakan menjadi pelindung bertindak rasuah. Bahkan memanfaatkan jabatan untuk mengakali sistem lelang pengadaan proyek.

GRAFIS : (HERPRI KARTUN/RADAR JOGJA)

“Sebenarnya kejaksaan tetap bisa memberikan pertimbangan hukum tanpa harus dibentuk TP4D. Misalnya melalui fungsi penerangan. Tetapi jika masuk mengawal proyek sejak awal, justru membuka peluang memanfaatkan untuk kepentingan pribadi,” tegas peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum UGM Zaenur Rohman, Rabu (21/8).

Zaenur meragukan efektifitas TP4D bentukan Korps Adhyaksa. Dalam OTT Proyek Supomo, tersangka Eka Safitra (ESF) memiliki peran sentral. Sebagai anggota tim TP4D Kejari Kota Jogja, dia mengintervensi persyaratan lelang. Tujuannya agar PT Widoro Kandang milik Gabriella Yuan Ana lolos lelang.

“Itu sudah jelas dari hasil pemeriksaan KPK, tersangka ESF terbukti mengintervensi Kabid Draninase SDA DPUPKP Kota Jogja. Jadi peran mencegah dan mengawasi justru dilanggar sendiri,”  tegasnya.

Zaenur menuturkan penunjukan unsur kejaksaan sebagai TP4D tidak tepat. Diakui, kejaksaan memiliki peran pendampingan hukum. Namun bukan berarti instansi ini masuk dan menempel dalam setiap proyek pembangunan instansi pemerintah.

Hadirnya TP4D tumpang tindih dengan instansi pengawasan lainnya. Sebut saja Inspektorat, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) hingga Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) untuk pengawasan internal. Ada pula Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai pengawas eksternal.

OTT Proyek Supomo juga menjadi bukti tumpang tindih kebijakan. Proses lelang hingga pembangunan yang harusnya normal justru bermasalah. Artinya peran kejaksaan sebagai TP4D penindak justru dilanggar sendiri.

“Jika terdapat penyimpangan, justru kinerja pengawalan dan pengarahannya yang bermasalah. Jika dikaji, sebenarnya keberadaan TP4D itu tidak efektif dan tidak tepat,” katanya.

Peran TP4D sebagai penindak, menurutnya, semakin menguatkan legitimasi. Dalih menghindari penyelewengan justru menjadi udang di balik batu. Celah inilah yang dimanfaatkan Eka Safitra untuk turut bermain dalam proyek senilai Rp 8,3 miliar itu.

Pukat UGM mendorong presiden mengevaluasi keberadaan TP4 maupun TP4D. Ini karena dasar pembentukan tim ini adalah Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.

“Presiden harus mengevaluasi peran TP4 dan TP4D sebagai pengawal proyek pembangunan. Kejaksaan juga harus melakukan reformasi. Efek jera harusnya sampai ke level pimpinan. Harus siap dicopot sebagai wujud lalainya tanggung jawab pengawasan semua anak buahnya,” ujarnya. (dwi/laz/fj)