Arah politik di Mataram benar-benar berubah haluan. Laskar Tionghoa yang semula menjadi sekutu dalam menghadapi VOC kini beralih menjadi seteru. Mataram memutuskan  berbalik memerangi orang-orang Tionghoa.

Perubahan peta politik di istana Kartasura itu dibahas secara serius oleh Bupati Grobogan Martapura. Dia berinisiatif menggelar pertemuan pada Maret 1742. Beberapa koleganya diundang. Di antaranya Bupati Pati Mangunoneng dan pimpinan laskar Tionghoa  seperti Singseh serta Kapitan Sepanjang.

Inti pertemuan  menyikapi kebijakan  Sunan Paku Buwono II. Raja Mataram  yang bertakhta di Kartasura itu sejak Agustus 1741 menginstruksikan pejabat dan rakyatnya membantu laskar Tionghoa melawan Kompeni.

Namun memasuki awal 1742 perintah itu dicabut. Kebijakannya berubah berkoalisi dengan VOC. Perubahan ini bukan tanpa alasan. Mataram merasa pesimistis bisa mengalahkan VOC. Perang berbulan-bulan melawan Kompeni tidak menghasilkan kemenangan. Kondisinya tidak kalah dan juga tidak menang.

Sunan juga menghadapi masalah internal. Beberapa kerabatnya mengincar takhta Mataram. Mereka memanfaatkan krisis politik pasca memburuknya hubungan antara Kartasura dengan Batavia. Raja tak mau mengambil risiko. Perhitungan politiknya mengharuskan Mataram mengubah haluan negara.

Menyikapi perkembangan itu, Martapura, Mangunoneng, Singseh dan Sepanjang sepakat pada satu kesimpulan. Sunan harus lengser. Digantikan orang lain. Mereka juga sepakat mengkampanyekan Gerakan Ganti Raja. Hanya saja peserta rapat belum menemukan  sosok yang tepat menggantikan Paku Buwono II.

Singseh mengusulkan Martapuro sebagai calon raja. Pemilik nama Tionghoa Tan Sin Kho selama ini memimpin laskar di Jepara hingga Lasem. Dia merasa sangat mengenal dekat dengan pribadi Martapuro. Pengajuan nama Martapuro didukung Kapitan Sepanjang.

Namun usulan itu tidak direspons peserta rapat lainnya. Khususnya para bupati  Mataram seperti Mangunoneng. Martapura sendiri juga tidak setuju. Dia sedang berpikir menyangkut kriteria calon raja Mataram.

Bagi orang Jawa, figur susuhunan atau sunan harus memiliki wahyu. Punya bobot dan bibit sebagai calon raja. Juga diperlukan syarat rumasuk-nya wahyu sebagai bukti lulusnya laku. Yang dimaksud wahyu adalah legalitas hukum. Sedangkan laku terkait legitimasi atau dukungan rakyat.

Martapuro memahami betul calon sunan harus punya darah raja. Dia tidak bersedia menjadi raja karena bukan keturunan raja Mataram. Jika nekat naik takhta, dia akan digebuki banyak orang. Bupati Grobogan itu tidak ingin terjadi. Anak buah Patih Notokusumo ini bertekad Gerakan Ganti Raja harus terealisasi.

Di tengah kebuntuan, seorang pengusaha Tionghoa asal Grobogan He Tik memunculkan nama Raden Mas (RM) Garendi. Dia cucu Sunan Amangkurat III. Kakek Garendi itu tergusur dari takhtanya gara-gara didongkel  Pangeran Poeger atau Paku Buwono I.  Dia tak lain kakek dari Paku Buwono II. Raja yang kini hendak mereka lengserkan melalui Gerakan Ganti Raja.

Usulan He Tik itu diterima semua peserta rapat. Garendi yang baru berusia 16 tahun diusung menjadi calon  tunggal. Upacara jumenengan atau penobatan Garendi  diadakan di  Pati 6 April 1742.

Garendi memilih gelar Susuhunan Amangkurat V Senopati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama.  Amangkurat V ini juga dikenal dengan nama Sunan Kuning. Asalnya dari bahasa Tiongkok Cun Ling  yang berarti bangsawan tertinggi. Orang Jawa kesulitan mengucapkannya sehingga menjadi Sunan Kuning.

Saat upacara penobatan Garendi menyampaikan pidato yang menyengat. “Pemimpin yang ingkar janji tidak bertuah lagi. Gebuklah dia,  pasti akan kabur,”  begitu kata-kata yang diucapkan Amangkurat V di depan para ulama dan para pendukungnya yang memakai busana Tionghoa. (laz/fj)