RADAR JOGJA – Sanggar Rojolele kembali menggelar Festival Mbok Sri Mulih (FMSM) untuk ketiga kalinya, bekerja sama dengan Spektakel ID. Bertempat di Dusun Kaibon, Delanggu, Klaten, Jawa Tengah, 20-22 September mendatang. Pendiri Sanggar Rojolele dan penggagas FMSM Eksan Hartanto menjelaskan, FMSM bukan sekadar gebyar budaya tani, namun secara aktif melibatkan warga lokal dalam persiapan dan penyelenggaraanya. Mulai dari konsepsi  program,  kepanitiaan  yang  melibatkan warga secara lebih luas, instalasi dan dekorasi hingga dapur umum.

“Ini sebagai salah satu cara untuk mewujudkan gagasan besar berkelanjutan penguatan dan pertanian di Delanggu,” ujarnya.

Menurutnya, festival ini adalah kendaraan Sanggar Rojolele untuk mencapai visi dan misinya, yakni kedaulatan petani Delanggu.

“Anggap saja festival ini adalah sebuah proyek besar yang kami tawarkan kepada warga untuk digarap bersama-sama, sebuah ajang untuk menguatkan nilai- nilai guyub rukun khas masyarakat pertanian yang semakin kemari cenderung luntur. Ketika semakin guyub dan rukun, semoga kami, para petani, bisa bergerak bersama untuk memperbaiki nasib kami,” beber Eksan.

Program-program FMSM tahun ini meliputi Jagongan Tani, Pasar Desa, Kirab Budaya, Kuliner Dapur Simbok, Layar Tancap, Tur Jelajah Delanggu, serta pertunjukan ketoprak humor Sri Kuncoro Budoyo yang sepenuhnya ditulis, disutradarai, dan dimainkan oleh masyarakat lokal.

Nguri-nguri secara harfiah menggambarkan kegiatan petani ketika sedang menabur benih di awal masa menanam. Dengan kata lain, nguri-nguri merupakan proses merawat, menumbuhkan atau membudidayakan suatu hal. Nguri-nguri petani Delanggu menjadi penting ketika semakin hari jumlah petani semakin sedikit, beriring alih fungsi lahan dan menurunnya pamor profesi petani sebagai pekerjaan yang secara ekonomi mesti dipertahankan.

Pertanian Delanggu pernah mengalami puncak ketenarannya lewat varian benih beras Rojolele. Beras pulen wangi ini dapat tumbuh dengan kualitas maksimal di daerah Delanggu dan sekitarnya konon berkat limpahan kualitas tanah dan air tanah yang mengalir dari lereng Merapi.

Sisa-sisa ketenaran itu masih dapat dilihat di karung-karung beras bercap “Beras Delanggu” dengan isi yang sulit dijamin asli dari Delanggu. Namun, kejadian tersebut mengisyaratkan dua hal: beras dari daerah lain mendompleng nama baik beras Delanggu atau beras dari Delanggu sudah tidak memenuhi kualitas “Beras Delanggu” lagi sehingga perlu digantikan dengan beras dari daerah lain. Penyebabnya ada banyak, mulai dari faktor ekologi, ekonomi hingga sosial- budaya.

Sementara itu pendiri Spektakel ID Dimas Jayasrana mengungkapkan, FMSM ingin menunjukkan manfaat seni budaya pada kesejahteraan sosial, kesehatan fisik dan mental, sistem pendidikan, status nasional dan ekonomi dalam konteks agraris. “Hal tersebut bisa digapai dengan kerja-kerja riset dan observasi yang terus diperbaharui mengikuti dinamika masyarakat,” ujarnya.

Harapannya, ada dukungan berupa dari pemerintah pusat hingga lokal desa yang menyokong keberlangsungan serta pengembangan pertanian secara menyeluruh. (sce/tif)