RADAR JOGJA – Tekstil tradisional atau dikenal dengan wastra memiliki urgensi tinggi untuk dilestarikan seiring perkembangan industri saat ini. Produk pabrikan menjadi tantangan utama tekstil tradisional yang masih diproduksi secara manual atau handmade. Hal tersebut diungkapkan GKBRAA Paku Alam yang juga presiden Traditional Textile Arts Society of South East Asia (TTASSEA), usai jumpa pers terkait 7th ASEAN Traditional Textile Symposium, Kamis (19/9) di Rumah Kreatif Jogja.
“Dari dulu tantangannya berat, tapi handmade itu selalu ada di hati kita. Saya selalu menekankan bahwa handmade lebih baik dari pabrikan,” ujar permaisuri Paku Alam yang akrab disapa Gusti Putri ini.
Tantangan produk tekstil pabrikan, lanjut Gusti Putri, ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia. Di seluruh negara ASEAN pun mengalaminya. Oleh karena itu, menurutnya penting untuk melestarikan wastra di generasi milenial dan berikutnya.
“Generasi milenial akan menjadi generasi yang tidak milenial, bagaimana pun akan meneruskan perjuangan melestarikan,” ujarnya.
Sekretaris TTASSEA Ani Bambang menambahkan, untuk melestarikan wastra yang ada di ASEAN juga perlu berkembang seiring perubahan, tanpa menghilangkan pakem yang ada. Apalagi Indonesia dianggap sebagai kakak tua dari wastra-wastra yang ada di setiap negara ASEAN, karena kekayaan jenis wastra yang dimiliki.
“Kami ingin orang-orang muda terlibat dan tertarik, membuat wastra dan turunannya memiliki nilai ekonomis. Sehingga barang-barang yang dihasilkan diharapkan menjadi sesuatu hal yang baru, apalagi orang Jogja terkenal kreatifitasnya tinggi,” ungkapnya.
Ani mengungkapkan pentingnya pelestarian wastra juga termasuk memelihara teknik dan motif kain. “Jangan sampai motif yang sudah ada itu hilang, kami mengatakan, hilang satu motif itu hilang satu generasi,” tegasnya.
Sepakat dengan Gusti Putri dan Ani Bambang, koordinator 7th ASEAN Traditional Textile Symposium Sumartoyo mengatakan bahwa selain batik, wastra lain di Indonesia seperti songket dan tenun perlu sering dimunculkan.
“Itu bagus-bagus sekali, kalau tidak kita angkat akan hilang, tantangan teknologinya sudah ada alat yang bisa memunculkan motif batik, kalau begitu tenun-tenun harus kita kuatkan lagi,” tuturnya.
Melalui 7th ASEAN Traditional Textile Symposium yang akan digelar 4-8 November di Royal Ambarrukmo mendatang, diharapkan dapat menarik minat generasi milenial. Tujuannya untuk memajukan pengetahuan ilmiah tekstil tradisional dalam hal materi, motif, dan teknik. (tif)