RADAR JOGJA – Sosoknya ayu, tutur bicaranya lembut. Dia seorang perawat dan juga Diajeng Kota Jogja 2015. Memiliki mimpi besar melestarikan budaya tari. Kini, dia dirikan sanggar tari bernama Sintha Art Dance, berlokasi di Jetak Tulasan, Mulyodadi, Bambanglipuro, Bantul.
Jiwa dan keinginannya melekat kuat tiada sekat. Itulah semangat sosok perawat yang bekerja di RSUP Dr Sardjito Jogjakarta, Sintha Restu Wibowo. Warga Mulyodadi, Bambanglipuro, Bantul, ini mengaku begitu prihatin terhadap generasi muda yang melupakan budaya. Apalagi melupakan tari tradisional.
“Padahal tarian tradisional itu penting dipelajari. Kalau sekadar tahu tapi tidak ditularkan, ya percuma. Tari klasik akan termakan zaman,” ungkap Sintha saat ditemui Radar Jogja, Minggu (30/9).
Dikatakan, menari sudah menjadi hobinya sejak kecil. Begitu mengenal tari, dia langsung jatuh cinta dan berupaya melestarikan. Pada 2016 lalu, ia mendirikan Sintha Art Dance.
Sebelum menjadi perawat, Sintha sudah aktif memberikan pelatihan tari kepada anak-anak. Awalnya dia mengajak anak-anak di sekeliling tempat tinggalnya. Kemudian memberanikan diri membuka les menari. Selama empat tahun berjalan, jumlah muridnya terus meningkat. Dari 10 murid hingga tahun ini ada 200 murid. Jumlah pengajar 10 orang.
“Ya, menari itu pelepas penat. Menari menimbulkan perasaan senang dan bahagia. Juga mengajak orang lain ikut bahagia,” tutur perempuan berusia 26 tahun itu.
Keprihatinan terhadap tari tradisional semakin membuatnya gusar ketika anak muda lebih tertarik dengan tari-tarian K-pop. Melalui ajang diajeng Kota Jogja, menjadi kesempatan menciptakan relasi dan mengenalkan budaya Jawa kepada publik secara luas.
Dia berharap, anak didik di sanggarnya dapat mempertahankan kesenian tari tanpa meninggalkan tarian tradisional. Dengan nguri-uri budaya itu maka keberadaan tari tradisional akan terus terjaga.
“Membuka sanggar tari bukanlah semata mencari keuntungan. Melainkan sebatas mengajak, membuat orang tertarik terlebih dahulu,” ungkapnya.
Dijelaskan, biaya yang diperoleh dari sanggar itu untuk biaya perawatan sanggar. Sehingga fasilitas sanggar semakin lengkap dan pesertanya semakin banyak.
Dalam hidup, Sintha memiliki prinsip memiliki semangat muda dan memberikan motivasi kepada orang lain. “Young in motivation. Di kala menjadi berkah orang lain, ya lebih baik share ilmu,” ucapnya.
Selain aktif dalam memajukan kesenian dan budaya, Sintha yang kini sedang meneruskan pendidikan S2 di UGM ini telah mendapatkan beragam prestasi. Baik prestasi akademik ataupun nonakademik.
Pada 2017 lalu, dia mendapatkan penghargaan karya terbaik dalam ajang kontes tari tingkat Asean. Saat itu, dia membuat tari batik. Dikemas ke dalam tarian kontemporer, digabungkan dengan sendratari. Tari itu menceritakan proses membatik. “Mulai dari menyiapkan alat hingga penjualannya,” tuturnya. (mel/laz)