PADA 19 September 2019, gelombang aksi mahasiswa dari ITB, Trisaksi, Unindra, Stiami, Universitas Paramadina, Universitas Tarumanegara, UPI, STMT Trisakti, dan UI dimulai dengan tuntutan pembatalan revisi Undang-Undang KPK (UU KPK) dan Rancangan Undang-Undang KUHP (RUU KUHP).

Selang empat hari kemudian, aksi mahasiswa dalam seruan #GejayanMemanggil kembali pecah di Jogjakarta menuntut hal yang sama, plus desakan penegakan kehidupan demokratis di Indonesia. Berturut-turut aksi mahasiswa beserta berbagai elemen masyarakat terjadi di Solo, Sumatera Selatan, Semarang, Makassar, Bandung, Lhokseumawe, Medan, Palu, dan berbagai wilayah lainnya di Indonesia dengan tuntutan yang sama dan tegas.

Gelombang aksi yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia ini tentu tidak akan terjadi tanpa sebab dan pemerintah harus mampu memaknai secara arif dan bijaksana. Hal tersebut mengindikasikan bahwa ada yang hal yang tidak sesuai antara apa yang dikerjakan pemerintah dengan apa yang diharapkan oleh rakyat Indonesia.

Tergambar jelas bahwa pengesahan revisi UU KPK dan upaya pengesahan RUU KUHP telah menodai kepercayaan yang diberikan rakyat terhadap Presiden dan DPR saat ini. Upaya yang pemerintah lakukan tersebut dinilai bertolak belakang dengan semangat bersama memberantas praktek korupsi sekaligus dinilai sebagai langkah mundur bagi kehidupan demokrasi yang selama ini dijalankan di Indonesia.

Hari ini, setidaknya sampai tulisan ini dirangkai, situasi politik di Indonesia masih belum menemui titik kepastian. Berbagai pihak diprediksi masih dalam posisi wait and see, baik pemerintah maupun mahasiswa beserta elemen rakyat lainnya.  Revisi UU KPK saat ini sudah disahkan oleh DPR, meskipun belum ditandatangani oleh Presiden. Jika merujuk pada aturan yang ada, yakni Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan diterangkan bahwa RUU yang sudah disepakati bersama DPR dan pemerintah dikirim ke presiden untuk disahkan. Selanjutnya, dalam waktu paling lama 30 hari dari waktu RUU itu disetujui DPR dan pemerintah, mengesahkan RUU tersebut. Jika dalam jangka waktu tersebut tidak ditandatangani presiden, maka RUU tersebut akan tetap sah berlaku.

Dalam situasi ini, mendesak Presiden untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dan melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi merupakan dua langkah konstitusional yang dapat ditempuh guna membatalkan UU KPK yang baru. Meskipun terkait dengan Perppu, masih menjadi perdebatan apakah situasi saat ini sudah masuk dalam kategori darurat atu tidak. Perppu yang diharapkan oleh rakyat saat ini didasari pada teori hukum darurat negara (staatsnoodrecht). Staatsnoodrecht bermakna keadaan darurat negara sehingga hukum yang berlaku adalah hukum yang memang dimaksudkan untuk berlaku dalam keadaan darurat (Jimly Asshiddiqie, 2007). Di sisi lain, DPR periode 2014-2019 memutuskan untuk menunda pengesahan RUU KUHP dalam rapat paripurna terakhir. Artinya, setidaknya masih ada harapan yang disematkan kepada anggota DPR periode 2019-2024 terpilih untuk dapat membatalkan RUU KUHP sebagai wujud pembelaan terhadap aspirasi rakyat.

Berkaca dari kondisi di atas, tidak salah jika kita menyebut kehidupan demokrasi Indonesia saat ini sedang pada pada fase “digantung”. Kondisi ketidakpastian dan juga indikasi memukul mundur kehidupan demokrasi Indonesia terbayang di depan mata. Tentu saja kondisi ini tidak boleh dibiarkan terus berlarut, selain berpotensi menimbulkan konflik vertikal antara pemerintah dan rakyat juga dapat menimbulkan instabilitas kehidupan sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia. Presiden terpilih dan para anggota DPR terpilih menjadi aktor kunci dalam situasi ini, dengan harapan mampu membuat keputusan-keputusan krusial.

Jika merujuk pada permasalahan revisi UU KPK, mengeluarkan Perppu dinilai mampu memberikan dampak positif bagi kondusifitas politik dan ekonomi di Indonesia. Penerbitan Perppu pembatalan UU KPK yang baru saja disahkan oleh DPR juga dinilai dapat memperkuat citra Presiden terhadap semangat pemberantasan korupsi dan akan menjadi kado terindah Presiden diawal periode ke-2 kepemimpinannya sekaligus meningkatkan trust dan apresiasi positif dimata rakyat. Meskipun, disisi lain para partai pengusung Presiden dinilai akan menjadi tantangan dan hambatan terbesar dalam upaya penerbitan Perppu karena sedari awal merekalah yang mengusulkan revisi UU KPK dan secara tegas menolak usulan penerbitan Perppu UU KPK.

Di sisi lain, merujuk pada penundaan RUU KUHP, harapan besar rakyat tersemat kepada para anggota DPR periode 2019-2024 terpilih untuk dapat meninjau kembali atau bahkan membatalkan pengesahan RUU KUHP tersebut. Meskipun kita ketahui bersama bahwa anggota DPR yang terpilih saat ini sebagian merupakan petahana yang turut serta merumuskan RUU KUHP.

Pesan penting bagi anggota DPR terpilih adalah harus mau dan mampu mendengar masukan, baik dari pegiat hukum, peneliti, pegiat hak asasi manusia, akademisi dan tokoh-tokoh masyarakat sebelum memutuskan nasib RUU KUHP yang saat ini sedang ditunda agar transparansi dan keterbukaan aspirasi benar-benar terwujud.

Pilihan-pilihan sulit ini akan menunggu untuk segera diputuskan dan mahasiswa beserta elemen masyarakat lainnya juga turut menunggu serta siap merespon terkait langkah apa yang akan diputuskan oleh pemerintah. Diharapkan apa yang nantinya menjadi keputusan Presiden terkait revisi UU KPK dan keputusan DPR terkait RUU KHUP merupakan keputusan-keputusan yang telah dipikirkan secara matang serta berorientasi terhadap aspirasi yang telah disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat. Namun, jika nantinya apa yang akan diputuskan jauh dari harapan rakyat, harapan seluruh anak bangsa semoga Indonesia dapat tetap kondusif, kuat dan kokoh dalam menghadapi dinamika pasang surut kehidupan demokrasi. (ila)

*Penulis merupakan dosen Universitas ‘Aisyiyah Jogjakarta