RADAR JOGJA – Botol plastik dengan jenis polietilen tereftalat (PET) dicacah untuk selanjutnya dipanaskan agar meleleh. Lelehan plastik dicampurkan dengan pasir yang kemudian dicetak untuk mendapatkan komposit beton hanya dalam waktu tujuh hari.
Berbeda dengan batako yang dijual di pasaran yang memerlukan waktu pengeringan selama kurang lebih 28 hari dengan kuat tekan sebesar 15 MPa. Tidak berbeda jauh, produk komposit beton dari lelehan plastik memiliki kuat tekan sebesar 15,52 MPa.
“Artinya komposit beton plastik lebih kuat dari beton yang biasanya digunakan,” jelas Nicolaus Elka Yudatama di ruang Humas UGM, kemarin (29/10).
Bersama empat temannya yakni Putra Makmur Boangmanalu, Stephanus Satria Wira Waskitha, Vidiskiu Fortino Kurniawan dan Reza Yustika Bayuardi, tidak menggunakan alat berat dan kompleks dalam pembuatannya.
Namun memanfaatkan barang yang ada seperti tong yang dimodifikasi agar bisa digunakan untuk melelehkan cacahan plastik.
Pembuatannya pun tergolong sederhana. Hanya dengan bahan lelehan plastik dan pasir yang harus disiapkan dengan ukuran satu banding satu. Plastik yang dipanaskan pada tungku kayu maupun kompor gas yang telah leleh, akan secara bertahap dicampurkan dengan pasir elod. Fungsi dari lelehan plastik sendiri adalah sebagai perekat.
Putra menambahkan, panasnya suhu yang diberikan sekitar 410 – 580 derajat celcius. Dengan waktu sekitar 30 menit untuk melelehkan cacahan plastik. Setelah kedua bahan tercampur, selanjutnya dicetak pada ukuran 5x5x5 sentimeter dan dikeringkan selama lima hari. “Lelehan plastik digunakan sebagai pengganti semen,” tutur Putra.
Setelah berada pada cetakan, tambah Satria, komposit beton harus ditekan atau dipres untuk meningkatkan konsistensi agar lebih kuat. Dengan dua produk yang dihasilkan, komposit beton dengan minimnya pori-pori sebagai pengganti batako untuk membangun rumah.
Serta komposit beton dengan pori-pori yang bisa digunakan untuk paving block. “Agar memudahkan air bisa turun ke tanah,” jelas Satria.
Vidiskiu menambahkan, saat ini permasalahan yang dihadapi adalah harga jual yang masih tinggi dengan kisaran Rp 3.500 hingga Rp 4.000 setiap buahnya. Berbeda dengan batako komersil yang masih cukup murah dengan harga Rp 2.500 per buah.
Menurut Vidiskiu, hal ini disebabkan karena material pasir saat ini masih dibelinya di toko bangunan dan belum diproduksi secara masal. Namun keuntungan dari penjualan bukanlah hal utama.
Melainkan bagaimana cara membuat komposit beton dari memanfaatkan limbah plastik bisa diaplikasikan oleh masyarakat. “Khususnya di desa, mengingat bahan yang digunakan sangat mudah didapatkan,” ungkapnya.
Produk beton komposit yang dibuat telah diaplikasikan pada masyarakat saat menjalankan program KKN 2019 di Desa Sepanjang, Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah.
Inovasi itu juga berhasil menghantarkan lima mahasiswa memenangkan medali emas dari ajang International 2nd World Innovation Technology Expo (WINTEX) 2019 yang diselenggarakan Indonesian Invention and Innovation Promotion Association (INNOPA) di Jakarta, 9-12 Oktober 2019. (eno/laz)