RADAR JOGJA – Di tengah rumitnya dunia politik dan kondisi sosial yang tak memihak kaum marjinal, humor justru dapat menjadi wahana penyampaian aspirasi politik secara ringan dan menyenangkan. Humor memiliki makna yang kompleks untuk mengeluarkan suara secara satir.
Ini menjadi salah satu buah pikiran stand up comedian atau pelawak tunggal asal Pekalongan, Sakdiyah Ma’ruf. Sepak terjangnya di dunia komedi tak bisa dianggap remeh. Pada 2018, ia masuk dalam daftar 100 wanita inspiratif dunia versi BBC. Diyah, demikian ia biasa dipanggil, menduduki peringkat ke-54 dari 100 wanita terpilih.
Menurutnya, humor dalam komunikasi politik bukanlah hal baru. Dalam sejarahnya, humor dikenal sebagai alat kaum marjinal untuk berbicara. “Rakyat kecil dan kelompok minoritas menggunakan olok-olok untuk merefleksikan diri sendiri maupun merefleksi sebuah bangsa,” ujarnya saat menjadi narasumber di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM (21/10).
Dia mencontohkan dagelan Srimulat mengenai cara membuat satu butir telur rebus dapat bertahan selama satu bulan. “Caranya, ambil nasi putih lalu telur itu kita cium, begitu seterusnya sampai 30 hari,” paparnya. Humor itu sejatinya juga pedih. Merepresentasikan cerita pengalaman rakyat dan cerminan bangsa yang terjerat kemiskinan.
Contoh kasus baru-baru ini adalah sekelompok mahasiswa dan masyarakat sipil memamerkan poster dengan pesan menggelitik saat turun aksi di jalanan. Bukti konkret humor yang dimanfaatkan untuk menembak kritik kepada DPR tentu dengan cara yang menghibur. Tak jarang pesan satir ini dipilih untuk menghiasi media-media nasional maupun lokal Nusantara.
Saat ini bahasa humor kembali banyak bermunculan dalam aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa yang didominasi generasi milenial. Kaum milenial berusaha menyampaikan aspirasi politik mereka melalui cara baru yakni dengan poster yang dikemas dalam gaya humor.
Kendati demikian, menurutnya, saat ini Indonesia tengah mengalami krisis selera humor. Dibuktikan saat kampanye Pemilu 2019 yang berhasil membelah rakyat menjadi dua kubu. Seolah-olah tanpa adanya titik temu.
“Humor politik paling berjaya di masa Gus Dur (Abdurrahman Wahid) dan kita semua setuju. Terobosan sangat diperlukan dan hanya bisa muncul dari keterbukaan dan keneragawan pemimpin dan politisi. Itu sulit didapatkan akibat adanya pasal karet UU ITE,” tandasnya.
Dikatakanb, pembangunan opini publik menjadi salah satu produk atas terjalinnya integrasi antara humor dan politik. Dia mengutip Arthur Asa Berger bahwa satir adalah representasi kritis yang bertujuan untuk menyampaikan kritik terhadap status quo.
“Satir dapat menjadi medium bagi para pihak untuk mengumpulkan pendukung sekaligus penentang dengan cara-cara yang relatif bebas dari penolakan agresif,” paparnya. Opini publik yang dibangun oleh humor dan satir adalah opini publik yang beradab dan mencerahkan.
Saat ini banyak perbincangan tentang pemerintahan dan politisi yang antikritik. Menurutnya, komedian dan masyarakat harus lebih berani dan terbuka membicarakan aspirasi politik. “Seperti dulu saat ada Sentilan Sentilun zaman SBY, buktinya baik-baik saja,” ungkapnya.
Diyah memiliki cita-cita, lima tahun ke depan satir harus memimpin sebagai kontrol. Baginya satir adalah pilar ke-5 demokrasi. “Pilar demokrasi adalah eksekutif, yudikatif, legislatif, pers, dan yang ke-5 adalah satir atau humor,” tambahnya.
Alangkah membantunya apabila masyarakat punya ruang untuk berbicara. Dia percaya, humor bisa jadi ruang untuk itu. (cr15/laz)