RADAR JOGJA – Penghageng Tepas Panitikismo Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat KGPH Hadiwinoto mendukung langkah Pengadilan Negeri (PN) Kota Jogja mengeksekusi sebidang tanah di kawasan Prawirodirjan Gondomanan.

Pertimbangannya adalah kepemilikan sah serat kekancingan. Selain itu juga pengoptimalan fungsi trotoar.

Ditemui di Bale Raos, Lurah Sepuh kraton ini bercerita banyak. Salah satunya adalah munculnya konflik antara pemegang kekancingan Eka Aryawan dan para PKL. Menurutnya pada medio 2011 kondisi masih adem ayem. Konflik baru muncul di 2015.

“(2011) Sudah ada kesepakatannya yang juga melibatkan pamong di wilayah itu. Lha kok 2015 muncul masalah, sing munculke sopo, kok tidak 2011,” jelasnya kepada wartawan, Selasa (12/11).

Penghageng Tepas Panitikismo Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat KGPH Hadiwinoto. (DWI AGUS/RADAR JOGJA)

Adik Hamengku Buwono X itu mengakui telah menerbitkan kekancingan untuk Eka Aryawan. Kala itu pemanfaatan tanah kraton sebagai akses masuk kediaman Eka. Berupa sebidang tanah dengan luas 73 meter persegi.

Bidang tanah tersebut meliputi roi jalan yang berfungsi sebagai trotoar. Permasalahan timbul karena di atas lahan kekancingan terdapat lapak para PKL. Sempat pula muncul perjanjian antara kedua pihak pada medio 2013.

“Nah di sisi itu ternyata ada PKLnya. Satu sisi kami (karaton) nek ngekei ijin kaki lima yo kleru. Karena (PKL) melanggar roi jalan. Sehingga kita berikan tahun 2011 tetapi weling sama yang punya rumah (Eka), dirembug dengan aparat kelurahan supaya kaki lima kepiye apike dirembug,” katanya.

Gusti Hadi, sapaanya, mengingat pernah ada upaya pemberian tali asih. Sayangnya saat akan diberikan, para PKL justru menolak. Alasannya jumlah tali asih dianggap belum mencukupi. Para PKL, lanjutnya, meminta kenaikan tali asih hingga sepuluh kali lipat.

Disinggung mengenai kesempatan perpanjangan kekancingan, menurutnya masih terbuka. Pernyataan ini berbanding terbalik dengan kuasa hukum karaton Achiel Suyanto. Proses eksekusi menurut Achiel tidaklah tepat. Imbasnya adalah kesempatan untuk perpanjangan kekancingan.

“Peruntukannya ya untuk jalan masuk to. Kekancingan (Eka) itu sepuluh tahun sampai 2021, kalau enggak diperpanjang engko engga bisa mlebu omah,” ujarnya.

Sementara itu kuasa hukum pemohon eksekusi Oncan Purba memastikan luasan lahan sesuai surat putusan. Berupa tanah seluas 28 meter persegi. Tanah tersebut merupakan bagian dari 73 meter persegi milik karaton.

Dalam kesempatan ini pihaknya meluruskan anggapan kuasa hukum karaton. Kliennya tidak ada keinginan menguasai tanah sultanaat gron. Upaya advokasi dilakukan untuk mendapatkan hak guna atas tanah kekancingan.

“Kami tidak ada keinginan menguasai sultanaat gron. Secara legal itu milik tetap milik karaton. Klien kami sudah mengantongi serat kekancingan dari Panitikismo,” jelasnya.

Pihaknya telah membuka pintu komunikasi. Sayangnya tidak ada tanggapan dari pihak tergugat. Hingga akhirnya gugatan berlanjut di tingkat kasasi Mahkamah Agung. Alhasil sengketa penempatan lahan berlangsung selama lima tahun.

“Berlarut-larutnya adalah karena termohon eksekusi tetap ingin bertempat di tempat di tempat eksekusi. Kami sudah komunikasi, bahkan sejak sebelum masuk Pengadilan Negeri, tapi ditanggapi dingin,” katanya. (dwi/riz)