Prajurit Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) Marbai Prajitno Amidjojo masih berusia 15 tahun saat pertempuran sengit meletus pada 10 November 1945. Kini, di usia 89 tahun, dia masih terbilang energik. Tak ingin merepotkan banyak orang.
SALMAN MUHIDDIN, Surabaya
MARBAI kaget. Lamunannya seketika buyar karena suara motor yang nyelonong masuk ke halaman rumahnya, Jumat (8/11). Tamu yang ditunggu-tunggu ternyata sudah datang. ”Halo, Om. Kok duduk di sini,” sapa anggota Paguyuban TRIP Jatim Enny Wisnoe Wardhani sambil melepas helmnya.
Enny adalah anak seorang pejuang TRIP. Dia termasuk generasi kedua. Dialah yang biasanya mondar-mandir untuk memberi tahu para veteran TRIP jika ada agenda besar. Pada siang yang panas itu, Enny datang hanya untuk menyampaikan undangan. Marbai diminta ikut pawai Hari Pahlawan 10 November. Para veteran akan diarak di jalanan kota dengan naik mobil kap terbuka.
Untuk itu, pukul 06.00 Marbai harus sudah siap. Mereka berangkat sama-sama dari markas Paguyuban TRIP Jatim di Jalan Manyar. Selain menyampaikan pesan tersebut, dia ingin melepas kangen karena sudah lama tak menjenguk ayah angkatnya itu. ”Sepedamu majukno ben gak mbuntu dalan ni (sepeda motormu tolong digeser agar tidak membuntu jalan),” ujar Marbai dengan wajah semringah.
Tampaknya, sudah lama dia menunggu Enny yang berjanji datang setelah Jumatan. Dia lalu mempersilakan masuk ke ruang tamu. Siang itu, Marbai berdandan layaknya tentara TRIP. Pakai seragam serbahitam. Namun, warna seragam tersebut kini memudar karena sudah berkali-kali dipakai dan dicuci.
Di lehernya melingkar pita merah putih dengan medali bintang gerilya. Tanda kehormatan itu dia terima atas keberanian dan kesetiaan mempertahankan kemerdekaan pada masa revolusi (1945–1950). Piagamnya ditandatangani langsung oleh Presiden Soekarno.
Saat pertempuran meletus, Marbai masih kelas I SMP. Dia bersekolah di Dai Ichi Shooto Chuu Gakkoo atau SMP 1 Praban. Kini berubah menjadi SMPN 3 Surabaya. Keadaan genting itu membuatnya tidak punya pilihan lain kecuali ikut bertempur.
Saat ditanya mengenai rentetan peristiwa hingga pertempuran 10 November meletus, nada bicaranya langsung meninggi. Dia teringat pada rekan-rekan sesama tentara pelajar yang gugur di Gunungsari. ”Gugurnya arek-arek iku tidak dengan bedil. Tapi, dengan meriam-meriam. Dengan tank-tank untuk menghabisi pasukan RI,” kata pria kelahiran 23 Maret 1930 itu.
Dia memperagakan aksi tembak-menembak itu. Tongkat jalannya digunakan bak senapan mesin yang dimiliki pasukan Indonesia dari rampasan Jepang. Beberapa rekannya yang bertugas di parit-parit pertahanan di Gunungsari berguguran. Kalah senjata. Kalah pula dalam jumlah pasukan. ”Mereka masih muda,” katanya.
Saat sekutu mendesak pasukan untuk mundur ke selatan Surabaya, Marbai sudah bergerilya hingga di markas divisi VI. Seingat dia, lokasinya berada di perbatasan Mojokerto–Jombang. Di dekat eks pabrik gula Mojoagung. Pasukan itu berada di bawah pimpinan Mayjen Yono Suwoyo.
Dia telah kehilangan banyak sekali teman seperjuangan. Namun, dia selalu menganggap kematian itu tidaklah sia-sia. Mereka adalah para syuhada. Mati syahid. Gugur di jalan Ilahi sebagai bunga bangsa.
Setelah 74 tahun sejak peristiwa itu, Marbai kini lebih banyak menyendiri. Satu per satu veteran telah tiada. Istrinya, sang belahan jiwa, juga meninggalkannya tahun lalu.
Namun, Marbai tidak mau larut dalam kesedihan. Dia tidak mau menyia-nyiakan sisa hidupnya hanya di depan televisi. Atau, hanya melamun. Karena itu, dia sering keluar rumah.
Agenda berobat rutin menjadi hal yang dia tunggu-tunggu. Dia rela tidur di bangku teras rumah sakit untuk menunggu nomor antrean. Dia tidak rewel. Tak mau diistimewakan karena embel-embel pejuang.
Agar dapat antrean nomor 1 di dokter spesialis saraf dan jantung, dia berangkat sejak asar. Padahal, jadwal berobatnya adalah keesokannya. ”Kalau datangnya pagi, selesai berobat sore,” ujar pria yang pernah menempuh kuliah kedokteran umum di Universitas Gadjah Mada itu.
Menurut Iwan, putra Marbai, kegiatan itu dilakukan karena bapaknya senang bertemu dengan kawan-kawan sesama lansia. Mereka suka bertukar cerita. Dia suka bercerita tentang peperangan dan kisah heroik kawan-kawannya yang telah gugur.
Dengan kisah itu, dia berharap para pasien tetap semangat menjalani hidup. Selalu berguna bagi sesama tanpa mengenal usia. Layaknya semboyan TRIP yang selalu ada di dadanya. ”Perjuangan Kuteruskan sampai Akhir Zaman”. (JPC)