RADAR JOGJA – Pelestarian ayam ketawa sebagai plasma nutfah asli Indonesia masih dilakukan para penggemarnya. Sayangnya, peran lembaga yang berkompeten pada genetika dan pemuliaan ternak masih minim.

Dekan Fakultas Peternakan (Fapet) Universitas Gadjah Mada (UGM) Ali Agus menyatakan kesiapannya untuk terlibat dalam pelestarian dan pengembangan plasma nutfah asli Sulawesi Selatan ini.

Sebab Fapet UGM memiliki mandat untuk melakukan penelitian dan pengembangan peternakan melalui konservasi plasma nutfah asli Indonesia agar jangan sampai punah atau diklaim negara lain. Salah satu caranya dengan bermitra dengan praktisi atau penghobi ayam ketawa. 

Karena itu dalam ulang tahun ke-50 Fakultas Peternakan UGM menggandeng Paguyuban Pecinta Ayam Ketawa Yogyakarta (PAKYO) dan Persatuan Pemelihara dan Pelestari Ayam Ketawa Seluruh Indonesia (P3AKSI) Jawa Tengah untuk menyelenggarakan acara temu guyub. Sekaligus show ayam ketawa.

“Tahun depan kami akan adakan acara yang lebih besar lagi, dalam bentuk kontes,” ungkapnya saat Temu Guyub Pecinta Ayam Ketawa, Sabtu (9/11) di arena Gebyar Lustrum X Fapet UGM.

Menurut Ali Agus, Fapet UGM memiliki pakar pemuliaan ternak unggas yang bisa membantu arah breeding dan seleksi yang dilakukan oleh peternak ayam ketawa.

Dengan begitu, perguruan tinggi dengan penghobi dapat berkolaborasi. Untuk itu masih harus dilakukan penelitian-penelitian bidang genetika meliputi ciri-ciri dan karakter genetik ayam ketawa.

“Supaya penghobi bukan hanya menjadi penggemar, namun menjadi breeder yang terarah secara ilmiah. Asosiasi penghobi ayam ketawa otomatis menjadi asosiasi breeder ayam ketawa sebagai ayam asli ndonesia,” tutur dia.

Pengajar dan peneliti dari Laboratorium Genetika dan Pemuliaan Ternak Fapet UGM Galuh Adi Insani mengungkapkan, pihaknya mulai mendampingi peternak ayam ketawa dalam wadah PAKYO dan Persatuan Penggemar dan Pelestari Ayam Ketawa Seluruh Indonesia (P3AKSI) cabang Jawa Tengah.

“Nama aslinya ayam ketawa adalah ayam gaga. Saat ini kami baru memajang dulu sekitar 20 ekor ayam koleksi anggota PAKYO,” jelas Galuh di sela acara yang dihadiri 30 penggemar ayam ketawa yang merupakan anggota PAKYO, P3AKSI, penggemar ayam ketawa Solo dan Jawa Tengah ini.

“Kami sudah menerima usulan untuk mengadakan latihan kontes setiap bulan di kampus, dan menggelar kontes tahunan sebagai puncak rangkaian kontes yang digelar Pakyo dan P3AKSI. Kita sambut baik usulan itu dan kita akan agendakan bersama-sama,” sambungnya.

Galuh menguraikan, sebagai ayam yang dinikmati suaranya, saat ini belum ada standar ilmiah untuk menilai suara ayam ketawa. Meskipun sudah ada standar suara menurut penggemar, namun dia menyatakan perlu adanya penelitian ilmiah.

“Suara ayam ketawa direkam secara digital kemudian dianalisis dengan bantuan grafik spektrum suara. Karakter suara kokok ayam ketawa berupa volume suara, warna, tempo, dan durasi akan diketahui secara terukur,” jelas dia.

Penelitian spektrum suara ayam ketawa itu, lanjut dia, juga membantu penjurian kontes ayam ketawa lebih objektif. Dia mengacu pada informasi kalangan penggemar bahwa selama ini masih harus menghadirkan juri ayam ketawa dari Sulawesi Selatan untuk penjurian kontes tingkat nasional.

“Kami juga meminta pada PAKYO dan P3AKSI agar peneliti Fapet UGM bisa belajar standar penjurian. Untuk membentuk juri-juri dari kampus dan untuk dikaji juga secara ilmiah,” ujar Galuh.

Ketua PAKYO Heru Susanto mengapreissi perhatian yang diberikan Fakultas Peternakan UGM dan berharap kerja sama selanjutnya bisa lebih erat lagi dalam bentuk pendampingan dan fasilitasi kegiatan seperti latihan bersama dan kontes.

“Kami juga siap membantu sesuai kemampuan jika akan ada penelitian ilmiah tentang ayam ketawa ini,” katanya.

Heru menambahkan, ayam ketawa merupakan ayam peliharaan para raja Bugis, terbanyak ditemukan di Sidrap, Sulawesi Selatan, yang kemudian menyebar ke seluruh nusantara.

Di Solok, Sumatera Barat juga ditemukan jenis ayam ketawa, yang dinamai ayam kokok balenggek. Ayam ketawa sudah sedemikian berkembang, sehingga suara kokoknya semakin hari semakin baik. 

“Dulu ayam ketawa hanya bersuara gretek atau disko saja, bertempo sangat cepat. Sekarang muncul irama dangdut yang lebih pelan dan slow yang paling pelan. Ada pula ayam durasi, yang panjang kokoknya bisa sampai 1-2 menit, biasanya dipakai untuk induk pejantan,” paparnya.

Sementara itu ketua P3AKSI Jawa Tengah Bambang Arif menerangkan, ibarat perkutut, suara atam semakin hari semakin bagus karena seleksi oleh peternak. “Namun juga jangan seperti sejarah perkutut.

Dulu perkutut-perkutut kita yang bagus-bagus dibawa ke Thailand dan diseleksi di sana. Kembali ke Indonesia lagi jadi perkutut bangkok yang jauh lebih bagus daripada perkutut kita. Jangan sampai kelak ada ayam ketawa bangkok,” tuturnya. (sce/tif)