INDONESIA dikenal sebagai negara agraris dan salah satu sektor yang menarik dan cukup penting dalam sektor agraria adalah pertanian tembakau. Sektor ini menarik karena tembakau dan produk turunannya seperti rokok memberikan pemasukan bagi kas negara melalui cukai dan pajak cukup besar.
Di samping itu, sektor ini juga mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup besar, mulai dari pertanian tembakau hingga produk akhir seperti rokok. Meskipun secara ekonomi tembakau dan rokok berdampak positif dan menguntungkan bagi perekonomian, di sisi lain, rokok sebagai produk olahan tembakau, adalah produk yang harus dibatasi atau dihambat konsumsinya, karena berdampak tidak baik bagi kesehatan. Salah satunya, pengendalian konsumsi rokok dilakukan pemerintah dengan dengan mengeluarkan UU No. 39 tahun 2007 tentang cukai. Cukai rokok berperan penting dalam membatasi konsumsi terhadap produk turunan dari tembakau khususnya rokok, dengan semakin tinggi cukai, akan semakin tinggi pula harga untuk produk tembakau, dan diharapkan akan menahan atau menurunkan konsumsi masyarakat terhadap tembakau dan rokok.
Berkaitan dengan cukai tersebut melalui Siaran Pers Kementerian Keuangan Republik Indonesia Nomor 62/KLI/2018 tanggal 16 Desember 2018 tentang Kebijakan tarif cukai 2019 disampaikan bahwa pada 12 Desember 2018, Menteri Keuangan menandatangani Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK.010/2018 (PMK 156/2018) tentang Perubahan Atas PMK Nomor 146/PMK.010/2017 (PMK 146/2017) tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Berdasarkan PMK tersebut terdapat kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 23% dan harga jual eceran sebesar 35% per 1 Januari 2020 yang diharapkan mampu meningkatkan pendapatan negara bersumber bea cukai rokok. Berdasarkan data pemesanan pita cukai (CK-1) pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, penerimaan cukai hasil tembakau mengalami peningkatan setiap tahun. Pada tahun 2013, penerimaan cukai hasil tembakau mencapai Rp 103,56 T. Pada tahun 2014 meningkat menjadi Rp 112,54 T. Pada tahun 2015, penerimaan tersebut kembali meningkat Rp 123,20 T. Pada tahun 2016, Rp 137,94 T. Pada tahun 2017 meingkat menjadi Rp 149,9 T dan terus meningkat menjadi Rp 153 T pada 2018.
Selain untuk meningkatan pendapatan negara, kenaikan cukai dan harga rokok bertujuan juga untuk mengurangi konsumsi rokok di masyarakat yang merupakan salah satu penyebab tertinggi kematian akibat konsumsi jangka panjang terhadap rokok tersebut. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) mengumpulkan data perilaku merokok pada penduduk berusia lima tahun ke atas. Jumlah penduduk yang merokok dalam sebulan terakhir di Indonesia dalam tiga tahun terakhir sekitar 23%, yang berarti sekitar satu dari empat penduduk Indonesia yang berumur lima tahun ke atas pernah merokok dalam sebulan terakhir, baik merokok setiap hari ataupun merokok kadang-kadang/tidak setiap hari.
Di sisi lain, penerapan kenaikan tarif bea cukai rokok yang memberikan pendapatan besar bagi negara memiliki problem ekonomi yang serius, hal ini berkaitan dengan pola konsumsi rokok yang tinggi pada masyarakat yang berpengaruh besar bagi kesehatan masyarakat. Pendapatan tinggi berbanding lurus dengan tingkat konsumsi yang tinggi pula, hal tersebut merupakan dampak eksternalitas negatif dari kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Eksternalitas negatif yang tidak diperhitungkan dalam perhitungan biaya akan membuat barang diproduksi terlalu banyak sebab biaya yang dikeluarkan terlalu murah. Hal tersebut menjadikan rokok masih mudah untuk digapai konsumen di negera ini karena harganya yang murah dengan mengabaikan dampak yang ditimbulkan.
Berbagai upaya telah dilakukan baik oleh pemerintah, kementerian/lembaga, dan praktisi kesehatan untuk menyebarkan peringatan bahaya merokok bagi kesehatan dan membatasi konsumsi rokok di masyarakat. Beberapa upaya tersebut antara lain melarang perokok untuk merokok di tempat umum, menaikkan tarif cukai rokok, melarang iklan rokok baik di media massa dan media luar ruang, hingga memperbesar gambar bahaya merokok bagi kesehatan pada kemasan rokok. Kebijakan kenaikan tarif bea cukai dan harga rokok melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK.010/2018 diharapkan dapat memaksimalkan pendapatan bagi negara yang bersumber dari sektor bea cukai, selain itu diharapkan pula dapat menekan dampak eksternalitas negatif yang ditimbulkan yaitu menurunnya angka konsumsi rokok di masyarakat demi meningkatkan kesehatan masyarakat.
Kebijakan perlindungan kesehatan masyarakat terhadap bahaya merokok perlu mengembangkan pemahaman akan agenda kebijakan yang terdiri dari persepsi masalah publik, pendefinisian masalah dan penggalangan dukungan untuk menjadikan isu publik menjadi agenda pemerintah yang mengutamakan peran sektor pemerintah dan didukung segenap komponen masyarakat. (ila)
*Penulis merupakan mahasiswa Pascasarjana Magister Administrasi Publik UGM.