Berbuat baik dengan cara yang sederhana. Itulah yang diusung seorang Adhit Dibyandaru. Dengan Gerakan Nasi Estafet. Gerakan yang mendermakan nasi bungkus kepada yang membutuhkan. Tanpa dipungut biaya. Yang membutuhkan bisa mengambil kapan saja.
Dwi Agus, Sleman
Semua orang pasti butuh makan. Tapi tidak semua orang bisa memenuhi kebutuhan pokok ini. Inilah yang menjadi alasan Adhit Dibyandaru mencetuskan Gerakan Nasi Estafet.
Konsepnya berbagi bersama. Melalui puluhan hingga ratusan nasi bungkus perharinya.
Wujud dari gerakan ini sangatlah sederhana. Adhit, sapaannya, menyediakan lima etalasi kaca di lima titik berbeda. Warga bebas mengisi etalase tersebut dengan nasi bungku. Selanjutnya bagi yang membutuhkan boleh mengambil tanpa dipungut biaya.
“Awalnya bingung mau menyalurkan bantuan seperti apa. Hingga akhirnya tercetus gerakan ini. Semua orang boleh menaruh nasi bungkus dan beserta minumannya di etalase. Tidak dibatasi jumlahnya,” ujarnya saat ditemui di rumahnya, Jalan Kalimantan, Sinduadi, Mlati, Sleman.
Pria kelahiran Jogjakarta 18 Mei 1988 ini tak membatasi ruang gerak. Semua orang bisa terlibat sebagai donatur per etalase. Begitupula penikmat santap nasi bungkus. Tanpa ada syarat apapun agar bisa mengambil satu bungku nasi.
Baginya berbuat baik tak perlu memandang golongan. Terlebih sebagai manusia sudah kodratnya untuk saling menolong. Harapannya gerakan ini bisa diikuti oleh semua kalangan. Tidak hanya terhenti di Jogjakarta tapi tercetus pula di daerah lainnya.
“Dulu sempat muter-muter tapi kurang efektif karena waktunya habis di jalan. Kalau seperti ini semua orang bisa ikut serta,” ujarnya.
Untuk terlibat dalam gerakan ini cukup mudah. Donatur cukup mendatangi langsung etalase terdekat. Bisa juga dengan memanfaatkan fasilitas jasa pengiriman ojek online. Cara lain dengan mendonasikan dana untuk diolah menjadi masakan.
“Bisa dipantau di akun instagram @sedekahfoodservice. Sebagai salah satu penyedia jasa memasak sekaligus pendistribusian nasi bungkusnya. Atau instagram @nasiestafet.jogja untuk gerakannya,” katanya.
Belum ada setahun berjalan, gerakan ini sudah memiliki lima etalase. Titik pertama halam rumah Adhit. Menyusul kemudian depan gerbang terminal Giwangan.
Lalu di sisi timur simpangempat Patangpuluhan Wirobrajan, halaman masjid Nurul Falaah Candi Gebang Condongcatur Depok Sleman dan halaman Toko Komputer Starcomp Sinduadi Mlati.
Adhit tak ingin mematenkan gerakan ini sebagai miliknya. Itulah mengapa dia mengajak adanya gerakan serupa dengan nama yang berbeda. Terbukti adanya perbincangan tentang gerakan ini. Fokus pada berbagai bersama dengan konsep yang berbeda.
“Baru tiga bulan ini berjalan. Untuk donatur kami menyebutnya sebagai atlet. Sosok yang memiliki kemurahan hati dan memiliki keinginan untuk bersedekah melalui nasi estafet. Harapannya tidak berhenti tapi terus saling menyambung,” harapnya.
Adhit tak takut gerakan ini salah sasarannya. Baginya orang yang mengambil nasi bungkus adalah sosok yang membutuhkan. Setiap etalase tidak dijaga secara khusus. Dia hanya mempercayakan kepada warga lingkungan di sekitar etalase tersebut.
“Kalau ambil (nasi bungkus) berarti membutuhkan karena lapar. Tidak ada istilah salah sasaran karena intinya adalah berbagai kepada sesama,” katanya. (riz)