RADAR JOGJA – Pakar Sosiolog Kriminal UGM Jogjakarta Suprapto menilai fenomena aksi kriminalitas jalanan atau klitih sangat memprihatinkan. Apalagi kini pelakunya cenderung didominasi anak bawah umur. Ada beberapa faktor yang menguatkan fenomena ini.
Pertama adalah adanya persamaan frekuensi pemikiran. Berupa pencarian jati diri dengan teman sebayanya. Hanya saja tindakan yang diambil cenderung negatif. Terbukti dengan adanya aksi anarkisme dan destruktif yang menyerang publik.
“Dulu aksi serupa menyasar lawan yang berbeda kelompok. Kalau sekarang dilihat dari modusnya cenderung acak. Para pelaku memang tidak ada konflik dengan korban. Justru memang sengaja mencari musuh dengan cara keliling,” jelasnya dihubungi melalui sambungan telepon, Senin (9/12).
Alasan selanjutnya adalah eksistensi diri atau kelompok. Beragam cara ditempuh agar keberadaan bisa diakui. Suprapto tak menampik bertindak kriminal adalah salah satunya. Tak sekadar eksistensi keberadan tapi juga menunjukan sosok dan kelompok yang kuat.
Aksi kriminalitas jalanan juga sebagai wujud rekrutmen. Syarat untuk diterima adalah membuat gaduh. Tidak ada batasan sasaran untuk bertindak kriminal. Bahkan aturan dalam kelompok juga memperbolehkan untuk melukai korbannya.
“Ada kredit poinnya saat beraksi. Misal beraksi di dekat pos keamanan, pos polisi atau dalam kondisi ramai itu nilainya tinggi. Para pelaku ini dimanfaatkan kelompoknya untuk bertindak anarkis. Bisa juga sebagai syarat masuki anggota baru,” katanya.
Dalam tahapan ini polisi wajib bertindak lebih detail. Melacak keberadaan kelompok di belakang para pelaku. Terutama yang memanfaatkan anak bawah umur.
Kelompok dewasa kerap menjadi payung bahkan penyusun skenario aksi.
Terbongkarnya skema komunikasi setidaknya mampu menjadi bekal. Melacak seluruh keberadaan anggota genk dan juga pemimpinnya. Selanjutnya disusun sebagai langkah strategis. Dapat berupa preventif, preventif hingga represif.
“Ditelusuri betul siapa aktor di balik perilaku mereka (ABH). Saya menangkap beragam peristiwa ini sebagai strategi nabok nyilih tangan. Satu, karena mereka (inisiator) tidak bertindak langsung. Kedua, karena sanksi peradilan anak juga dianggap tidak tegas,” katanya.
Di satu sisi Suprapto menyambut baik penindakan hukum. Sinergitas antara kepolisian, kejaksaan dan pengadilan negeri telah berjalan. Walau penanganan tetap sistem peradilan anak, namun sanksi berlaku tegas.
“Apalagi perilaku yang mengarah pada tindakan yang menyebabkan kematian. KUHP berlaku tegas, karena mereka membunuh dan sanksinya sesuai dengan perundangan pembunuh,” ujarnya. (dwi/riz)