RADAR JOGJA – Habiburrachman, penerima hibah seni PSBK menampilkan pertunjukan bertema klithih pada di Padepokan Seni Bagong Kussudiarja, akhir pekan kemarin. Pertunjukan ini bagian dari serangkaian acara Jagongan Wagen edisi Desember.
Melalui pertunjukan teater ini, sutradara Habib berusaha mengajak penonton untuk melihat Jogja dari sisi lain yakni klithih. Habib mengungkapkan, banyak situasi sosial yang seringkali luput dari pengamatan masyarakat. Kekerasan di jalanan seperti klithih harus dilihat secara luas dan mendalam.
”Jogja sebagai kota yang ramah, kota wisata, dan budaya itu situasi yang sangat hegemoni. Ada sisi lain yang perlu dibicarakan seperti kekerasan di jalanan. Kenapa dapat terjadi di daerah yang dicitrakan sebagai kota nyaman. Barangkali ada pranata sosial yang luput dalam membentuk ruang seperti sekolah dan keluarga yang penuh dengan kekerasan,” jelas Habib.
Teater yang menampilkan tokoh Andi sebagai pemeran utama atau si pelaku klithih disusun menggunakan cerita berbingkai. Habib memberikan ruang pada penonton untuk turut menyumbangkan pemikirannya lewat form pilihan ganda seputar klithih dan sesi tanya jawab langsung dengan narasumber fiktif yang di hadirkan saat pentas.
”Saya ingin tahu pendapat penonton bagaimana cara bersikap pada pelaku klithih. Apakah harus membunuh pelaku atau mungkin dengan memperbaiki sistem pendidikan, mengakomodasi kebutuhan anak didik,” jelas Habib saat ditemui tim Radar Jogja.
Penonton, lanjutnya, harus melihat Jogja dengan lebih kompleks. Habib mengaku tidak sepakat dengan kekerasan, tapi dia juga tidak sepakat ketika narasi yang muncul di media tidak pernah muncul dari sudut pandang pelaku. ”Tidak pernah tahu sejarah mereka. Seharusnya adil untuk menampilkan hidup pelaku,” ujar Habib.
Sebelum melakukan pentas, Habib mengaku melakukan beberapa riset dengan para mantan pelaku klithih. Habib banyak mencari tahu latar belakang pelaku, bagaimana mereka terbentuk sehingga bisa melakukan kekerasan.
Dari hasil riset, Habib menemukan beragam latar belakang pelaku, seperti kekerasan di keluarga, ditambah jenuh dengan mata pelajaran sekolah. Pelaku klithih tidak menemukan ruang untuk memahami mereka. Pada akhirnya bermula dari geng sekolah klithih terbentuk. Karena itu, Habib ingin mengajak penonton memahami konteks sosial di sekitarnya yang membentuk orang-orang seperti Andi.
Sutradara yang sudah menyutradarai tujuh karya ini menegaskan bahwa pertunjukan ini tidak bicara bahwa Jogja negatif, tapi bicara jika ingin hidup nyaman berarti ada hal lain yang perlu dipikirkan secara mendalam. (om1/ila)