RADAR JOGJA – Kualitas udara di Kota Jogja sempat mendekati ambang batas baku selama masa libur Natal dan tahun baru 2020. Kandungan karbon monoksida (CO) mengalami peningkatan drastis. Ini merupakan imbas dari peningkatan volume kendaraan dalam jangka waktu tertentu.
Laboratorium Pengujian Kualitas Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Jogja mencatat lonjakan CO sebanyak 27.000 microgram/meter kubik saat malam Natal (25/12). Lonjakan kedua terjadi tepat saat malam pergantian tahun. Kandungan CO di udara mencapai 23.000 microgram/meter kubik. Pengukuran menggunakan air quality measurement system (AQMS).
“Iya terjadi peningkatan signifikan kalau dibanding hari biasa. Tapi tetap dalam batas normal. Ambang batas baku untuk CO mencapai 30.000 microgram/meter kubik,” jelas Kepala Laboratorium Pengujian Kualitas Lingkungan DLH Kota Jogja Sutomo saat ditemui di kantornya, Kamis (2/1).
Sutomo membenarkan lonjakan terjadi akibat peningkatan volume kendaraan bermotor. Berbeda dengan kota lain, Jogja bukanlah kawasan perindustrian. Sehingga parameter utama adalah gas buangan dari kendaraan bermotor.
Kualitas CO saat tahun baru melonjak dan bertahan cukup lama saat pergantian tahun. Hanya saja berangsur surut mendekati pagi hari. Tercatat angka 22.000 microgram/meter kubik pada pukul 23.00 WIB. Hingga akhirnya turun menjadi 17.000 microgram/meter kubik pada pukul 03.00 WIB.
Dia mencontohkan kemunculan CO pada hari biasa. Angka rata-rata harian CO hanya berkisar antara 1.500 hingga 3.000 microgram/meter kubik. Peningkatan terjadi pada pagi dan sore hari mencapai 6.000 microgram/meter kubik.
“Kalau harian, CO dibawah 10.000 microgram/meter kubik. Peningkatan terjadi saat momentum liburan seperti saat ini. Tapi itupun jarang melewati ambang batas baku,” ujarnya.
Dampak paparan CO secara terus menerus tergolong bahaya. Sifatnya yang sangat reaktif mampu terikat dengan darah dalam tubuh manusia. Apabila terlarut dalam tubuh dapat menyebabkan keracunan gas.
“Dampaknya, CO ini jenis gas yang sangat reaktif. Mengikat hemoglobin, kalau masuk ke semua organ bisa bikin keracunan gas. Jangka pendek bisa pingsan, tapi kalau terpapar lama bisa meninggal dunia,” katanya.
Sayangnya catatan ini tidak bisa langsung menghasilkan kebijakan praktis. Pihaknya hanya bisa memberikan rekomendasi atas pengujian kualitas udara. Selanjutnya dikemas menjadi kebijakan oleh instansi terkait.
“Kalau kami intervensi di kendaraan bermotornya. Optimalisasi transportasi publik dan menjaga keberadaan pohon. Ini berpengaruh bisa menyerap CO dan CO2. Tapi arah kebijakan tetap di pemangku kepentingan sesuai domain,” ujarnya. (dwi/tif)