RADAR JOGJA – Bagi beberapa orang tentu tidak asing dengan istilah Pil Sapi. Kerap disalahgunakan oleh kalangan remaja usia SMA hingga Mahasiswa. Pil Sapi yang memiliki nama kimia pil Trihexyphenidyl atau THP ini sebenarnya tidak berbentuk pil, melainkan tablet bulat. Merupakan golongan obat keras atau obat yang harus menggunakan resep dokter.

Pejabat Fungsional Farmasi dan Makanan Ahli Madya Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Jogjakarta Kestri Harjanti menjelaskan, pil ini gunanya untuk mengatasi gangguan gerakan yang tidak normal dan tidak terkendali akibat penyakit Parkinson atau efek samping obat.

Trihexyphenidyl indikasinya untuk meningkatkan kendali otot dan mengurangi kekakuan. Saat gejala berkurang, obat ini akan membuat gerakan tubuh menjadi lebih normal. Trihexyphenidyl bisa digunakan sendiri atau bersama levodopa untuk mengobati penyakit Parkinson,” jelas Kestri.

Dalam Peraturan BPOM Nomor 10 tahun 2019, Pil Sapi tergolong Obat Obat Tertentu (OOT). Karena termasuk obat yang sering disalahgunakan. Jenis obat lain yang juga sering disalahgunakan di antaranya tramadol, klorpromazin, amitriptilin, haloperidol dan dekstrometorfan.

“Obat obat tersebut  bekerja di sistem susunan saraf pusat selain narkotika dan psikotropika, yang pada penggunaan di atas dosis terapi dapat menyebabkan ketergantungan dan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku,” terangnya.

Kestri menuturkan, para pengguna yang telah mengonsumsi pil ini merasa kuat begadang, tidak cepat lelah dan menimbulkan efek euforia (meningkatkan mood gembira yang berlebihan). Penyalahgunaan pil Trihex jangka panjang bisa berujung fatal. Dengan dosis berlebih akan menyebabkan mulut kering, penglihatan kabur, pusing, cemas, konstipasi, retensi urin, takikardi, dilatasi pupil, sakit kepala dan halusinasi. Lebih berbahaya lagi dapat memunculkan kecenderungan untuk bunuh diri. “Maka jangan sekali-kali menggunakan obat ini tanpa resep dari dokter, karena risikonya adalah nyawa,” tegasnya.

Harga pil ini relatif murah jika dibanding obat lain di kelasnya. Dalam pasar ilegal dijual seharga Rp 2.000 sampai Rp 4.000 per tablet. Sehingga masih terjangkau di kalangan anak muda.

Pada umumnya, lanjut Kestri, modus yang digunakan bandar untuk menarik anak muda menggunakannya pertama memberikan pil tersebut secara gratis. Setelah merasakan “enaknya”, pengguna merasa harus membelinya lagi. Sebagian besar para pengguna yang masih berstatus pelajar/mahasiswa membeli dengan uang pemberian orang tua yang seharusnya untuk membayar keperluan sekolah. Misalnya membayar SPP ataupun biaya sewa kos.

“Kalau kurang, kemungkinan mereka akan bertindak nekat menjual barang–barang yang mereka punya atau yang ada di rumah, mencuri. Yang penting bisa dapat uang untuk membeli pil Trihex. Itulah kenapa pengguna obat bisa bertindak kriminal karena kebutuhan tersebut,” tambahnya.

Pil Trihex yang sering digunakan anak muda adalah pil Trihex berlogo “Y”. Padahal pil tersebut diduga palsu dan ilegal. Karena tablet Trihexypenidyl 2 mg yang diproduksi PT Yarindo Farmatama itu telah dibatalkan izin edarnya oleh BPOM. Berdasar Keputusan Kepala BPOM RI Nomor HK.04.1.35.04.15.2138 tahun 2015, tentang Pembatalan Izin Edar Trihexypenidyl tablet 2 mg produksi PT Yarindo Farmatama. (*/tif)