RADAR JOGJA  – Gubernur DIJ Hamengku Buwono X diam-diam menaruh perhatian lebih atas aksi kriminalitas jalanan oleh remaja yang tengah marak. Fenomena yang terkenal dengan nama klitih diakuinya sangat meresahkan. Namun tindakan tegas tidaklah cukup.

Bagi Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ini perlu ada tindakan lebih mendalam. Sasaran utama justru keluarga. Baginya segala permasalahan berakar dari keluarga. Apabila tak harmonis, maka anak mencari kenyamanan diluar rumah.
“Kajian dari tim psikolog, ternyata mayoritas penyebab utama kurang beruntung atau broken home,” jelasnya saat ditemui di Kantor Kepatihan, Senin (13/1).

Tak  sekadar pembicaraan, HB X juga menggelar serangkaian rapat untuk menjangkau para orang tua pelaku. Harapannya bisa mengetahui permasalahan di ranah keluarga. Sehingga ada solusi atas permasalahan.
“Kami sepakat ada pembicaraan, tapi sebulan lagi. Tujuannya membangun dialog dengan orangtua dari anak-anak itu (pelaku klitih) dan orangtua lainnya,” ujarnya.

Dalam ranah ini HB X ingin mengetahui permasalahan yang ada. Selanjutnya memberikan sebuah tawaran solusi. Baik untuk permasalahan sosial hingga ekonomi. Setidaknya perhatian orang tua kepada anak kembali utuh.

HB X memandang aspek hukuman bukan solusi. Menurutnya cara ini baru memotong sebagian kecil jalur. Namun untuk penyelesian masalah tidaklah optimal. Walau diakui olehnya ketegasan penegak hukum dapat memberi efek jera.
“Tapi kuncinya di kehidupan keluarga, ada sesuatu yang perlu didialogkan. Bisa jadi anak-anak ini pulang pagi karena tidak merasa nyaman tinggal di rumah. Akar persoalannya tentu beda-beda dan inilah yang coba kami jamah,” katanya.

HB X menilai segala tindak tanduk anak adalah sebuah cerminan. Apabila perhatian kurang maka akan mencari di luar rumah. Bergaul dengan teman sebaya tanpa ada kontrol sosial. Imbasnya muncul beragam pelarian, termasuk aksi kriminalitas jalanan.

“Itulah kenapa saya mau fokusnya di keluarganya. Aksi kekerasan itu mungkin wujud pelarian. (Penanganan) tidak hanya kulit tapi maunya isi. Kulit itu seperti tindakan hukum karena aspek intinya di keluarga,” katanya.

Untuk mengawali ini tak perlu campur tangan pemerintah. Cara termudah adalah membangun komunikasi dalam keluarga. Contoh sederhana adalah makan malam bersama. Tentunya dengan menyingkirkan beragam gawai terlebih dahulu.

“Kalau dulu saat keluarga saat makan di meja makan itu bisa dialog. Sekarang sudah ngadep handphone semua, lalu kalau ketemu dalam kondisi diam tidak saling sapa. Itu sudah perubahan luar biasa dalam pendidikan keluarga,” ujarnya. (dwi/tif)