RADAR JOGJA – Dekan Fakultas Peternakan UGM Ali Agus meminta pemerintah provinsi DIJ menghentikan arus lalu lintas hewan ternak. Tujuannya untuk meminimalisir mobilisasi bakteri dan spora antraks. Sehingga penanganannya bisa fokus dan optimal.
Kasus yang selama ini terjadi belum teridentifikasi secara pasti. Apakah penyebab utama karena aktifnya spora antraks yang sudah lama tertidur. Adapula hipotesa masuknya bakteri dan spora antraks dari luar wilayah.
“Kalau yang dari luar wilayah ini perantaranya sangat banyak. Bisa dari hewannya langsung, manusia hingga kendaraan milik warga. Awalnya sempat singgah atau melintas di kawasan endemik dan akhirnya membawa bakteri dan spora antraks,” jelasnya ditemui di Fortakgama UGM Jogjakarta, Sabtu (18/1).
Guru besar FKH UGM ini juga meminta pemerintah bertindak cepat untuk melakukan deteksi dini ke sejumlah pasar hewan. Apabila terdapat potensi atau pernah terjadi kasus serupa, sebaiknya pasar tersebut ditutup sementara.
“Penutupan arus lalu lintas dan pasar hewan tetap dikaji dulu. Tapi setidaknya, saat ini dalam kondisi alert siap siaga. Tujuanya untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi siapa saja. Bisa tiga minggu tergantung kajiannya,” ujarnya.
Penerapan kebijakan ini perlu pemahaman mendalam dari masyarakat. Edukasi menurutnya jauh lebih penting sebagai bentuk pencegahannya. Terutama tentang detil spora dan bakteri antraks serta cara penularan dan penanganannya.
Termasuk memberi pemahaman tentang mobilisasi hewan ternak. Ali tak menampik dalam beberapa kasus warga menolak. Alasannya adalah perputaran ekonomi. Faktanya penanganan penyebaran antraks jauh lebih penting.
“Mobilisasi orang dan ternak sebisa mungkin dibatasi. Kalau perlu pemerintah membuat regulasi stop dulu mobilisasi ternak dari dan ke wilayah-wilayah lain. Ini juga dalam rangka untuk mengurangi resiko penularan yang yang bisa terjadi,” tegasnya.
Penanganan kasus, lanjutnya, tak terhenti di tingkat pemeirntah daerah. Penanganan optimal justru menjadi ranah utama pemerintah pusat. Salah satu pertimbangan, mobilisasi bisa terjadi antardaerah hingga provinsi.
Diawali dengan identifikasi titik-titik lokasi antraks. Pemetaan ini menurutnya dapat menjadi simpul-simpul. Korelasinya adalah memduahkan pemantauan dari instansi terkait. Tidak hanya pengobatan tapi juga pencegahan.
“Pendokumentasian tentang kejadian-kejadian perlu dilakukan secara baik. Ini bisa membantu sisi mitigasinya. Penanganan wajib komprehensif antar semua pihak, tidak hanya tanggungjawab satu wilayah saja. Perlu perhatian lebih serius, mengingat (kasus di Jogjakarta) rutin sejak 2017,” katanya. (dwi/tif)