RADAR JOGJA – Pakar mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan UGM Wahyuni menegaskan penanganan antraks harus total. Tak hanya di pencegahannya tapi juga penanganan pasca temuan. Paling utama, tanah lokasi temuan harus diplester dengan semen.
Pemlesteran bukan sekadar penanganan sementara. Cara ini terbukti ampuh mencegah bangkitnya spora dari bakteri antraks. Terlebih spora bisa bertahan sangat lama dalam tanah. Selain itu, hindari kegiatan rutin baik manusia atau hewan di lokasi yang sama.
“Penanganan bangkai ini harus diperhatikan juga. Tanah harus diplester, tidak boleh dibangun atau digali. Sifat dari spora antraks ini tetap aktif, sampai kapanpun. Berbeda dengan bakteri, dalam konsistensi suhu tertentu bisa mati,” jelasnya saat ditemui di Fortakgama UGM Jogjakarta, Sabtu (18/1).
Kondisi ini pernah terjadi di beberapa lokasi. Spora yang telah lama terdiam aktif kembali. Tanah yang harus didiamkan tanpa aktivitas justru digali. Alhasil kemunculan antraks kembali terdeteksi. Padahal lokasi tersebut cukup lama tidak terjangkit bakteri antraks.
Terkait situasi ini, Yuni, sapaannya, sepakat Jogjakarta masuk dalam kategori endemik. Pertimbangannya hampir semua wilayah pernah terdeteksi antraks. Berawal dari kasus di Sleman medio 2003. Kasus ini kembali mengemuka medio 2017.
Secara berurutan kasus ini juga muncul di wilayah lainnya. Mulai dari kabupaten Bantul, Gunungkidul dan Kulonprogo. Seluruh wilayah, lanjutnya, pernah terpapar. Walau dari segi penanganan tergolong cepat dan efektif.
“Kasus di Sleman itu penanganan dari pihak Dinas Peternakan di Sleman itu bagus setelah sekian tahun sudah tidak muncul. Lalu 2017 muncul, kemudian juga dari Bantul terjadi, lalu Gunungkidul, lalu Kulonprogo. Dikatakan endemis saya setuju,” ujarnya.
Terkait penanganan, sudah sewajibnya lokasi tersebut tertutup untuk umum. Sayangnya dalam beberapa kasus, baik kandang maupun tanah terpapar bebas. Masyarakat bebas masuk di kawasan tersebut. Padahal ancaman penyebaran bakteri antraks masih tinggi.
Itulah mengapa wajib ada desinfektan. Tujuannya untuk mematikan keberadaan bakteri antraks. Setiap warga yang melintas wajib disemprot setelahnya. Bahkan termasuk pengecekan kondisi kesehatan. Tujuannya untuk meminimalisir mobilisasi bakteri.
“Kalau peternak tradisional biasanya di alas kakinya. Termasuk pakaian, tas semua harus disemprot dengan desinfektan. Bakteri yang kontak dengan oksigen yang ini yang nantinya akan membentuk spora. Lokasi memang wajib ditutup,” katanya.
Di sisi lain tak mudah untuk mengidentifikasi keberadaan bakteri antraks. Penyebabnya adalah kemiripan antara bakteri bacillus anthracis dengan bakteri bacillus cereus sensu lato. Yuni menuturkan kedua bakteri ini memiliki karakter yang mirip.
Tak hanya dari sisi fisiologis, kedua bakteri ini memiliki tingkat kromosom yang sama. Alhasil identifikasi tidak bisa berlangsung cepat. Itulah mengapa penentuan suatu wilayah perlu penelitian mendalam. Tujuannya untuk memastikan bakteri penyebab utama.
“Jadi tidak bisa serta merta di lapangan, mendeteksi lalu menentukan. Harus ada uji lanjut dengan pengiriman sampel ke laboratorium,” katanya. (dwi/tif)