RADAR JOGJA – Ratusan petani asal Kecamatan Kalasan menggeruduk pintu flushing Selokan Mataram Grojogan Maguwoharjo Depok Sleman, Senin (3/2). Kedatangan mereka wujud tindak lanjut aksi protes dibukanya pintu flushing yang membuat persawahan kawasan Kalasan mengalami kekeringan.
Ketua Forum Petani Kalasan Januryanto, 40, merasa mendapat intimidasi. Beberapa waktu lalu pintu air sempat ditutup. Alhasil sawah di wilayahnya mendapatkan jatah air dari Selokan Mataram. Sayangnya kondisi ini hanya bertahan selama tiga hari saja.
“Kalau kondisinya terulang lagi seperti kemarin, kami sepakat akan wadul Ngarso Ndalem (Sri Sultan Hamengku Buwono X). Setiap bertemu dengan oknumnya, pasti kami ditantang diajak ribut. Masa pemerintah kalah sama preman,” keluhnya ditemui lokasi penutupan pintu flushing, Senin (3/2).
Perjuangan mendapatkan jatah air tidaklah mudah. Tercatat kondisi minim pengairan telah berlangsung selama empat tahun. Imbasnya hasil pertanian dalam kurun waktu tersebut sangat minim. Bahkan dalam beberapa fase tergolong gagal tanam dan gagal panen.
Tiga desa terdampak dibukanya pintu flushing adalah Tirtomartani, Purwomartani dan Tamanmartani. Total ada 241 hektar ladang persawahan yang terdampak. Seluruhnya berada tepat di sisi utara dan selatan perlintasan Selokan Mataram.
“Kalau total dengan Kecamatan Prambanan dan Berbah ada sekitar 4 ribuan hektar. Dampak dari hulu tentu terasa hingga hilir. Jika kiriman air dari barat tak lancar maka imbasnya ke saluran yang berada di timurnya,” katanya.
Minimnya hasil pertanian selama empat tahun bukanlah hiperbola semata. Selama musim hujan, diakui oleh Januryanto ada suplai air. Namun keberadaan air ini hanya cukup untuk pengolahan lahan. Sehingga untuk waktu berjalan, tanaman padi maupun hortikultura tidak tumbuh optimal.
Sempat ada solusi menggunakan pompa untuk mengairi persawahan. Hanya saja strategi ini justru mendatangkan kerugian. Untuk lahan seluas 1000 meter persegi setidaknya butuh enam kali pemompaan air.
“Untuk taraf perawatan harian tidak bisa dan tidak mencukupi kalau hanya dari hujan. Kalau pakai pompa jelas rugi, karena untuk satu kali pompa biayanya Rp 150 ribu, ini enggak nutup untuk produksinya,” ujarnya.
Hasil kesepakatan, DPUPKP Kabupaten Sleman dan BBWSO Jogjakarta sepakat menutup pintu flushing. Tak sekadar ditutup, pengatur pintu juga dilas. Tujuannya agar tidak ada warga yang membuka kembali. Sehingga aliran selokan Mataram merata hingga kawasan timur Sleman.
“Semoga kebijakan ini bisa berjalan efektif. Agar kami bisa bertani kembali dan keluarga kami bisa hidup sejahtera,” katanya. (dwi/tif)