RADAR JOGJA – Persoalan gizi kronis atau stunting tidak sekadar ibu dan anak diberikan nutrisi yang benar. Tapi juga meliputi ketersediaan pangan dan ketahanan pangan. Karena itu, konvergensi lintas sektoral jadi kunci utama dalam penanganan stunting agar target penurunannya bisa tercapai.
Pakar Gizi Anak Universitas Gadjah Mada (UGM) Maineni Sitaresmi menjelaskan, pemerintah pada tahun ini telah menaikkan anggaran bantuan sosial Penerima Keluarga Harapan (PKH) dari Rp 2,4 juta menjadi Rp 3 juta. Salah satunya memenuhi gizi untuk ibu dan anak. Pemenuhan gizi bukan aspek kesehatan saja melainkan butuh dukungan dari stakeholder lainnya agar dana yang digunakan bisa efisien.
Menurut Maineni, konvergensi serta integrasi lintas sektoral seperti dinas kesehatan dan dinas pertanian sangat strategis. Mengingat stunting menjadi hal penting dari pemerintah untuk membuat sumber daya manusia (SDM) unggul yang dimulai dari anak. Harapannya kenaikan anggaran bisa dimanfaatkan seoptimal mungkin dengan target yang jelas. “Misalnya di kabupaten maupun desa pada saat perencenaan benar-benar satu tujuan,” jelas Maineni, Minggu (2/2).
Anggaran yang ada, bisa dialokasikan untuk pencegahan stunting. Mulai dari sosialisasi Pola Hidup Bersih Sehat (PHBS), imunisasi, pemberian nutrisi yang baik, dan penyediaan air bersih. Meskipun begitu, masih ada kendala penurunan angka stunting di Indonesia. Ada dua hal yang membuat penurunan stunting belum maksimal.
Pertama, tambah Maineni, adalah masih adanya masyarakat yang pesimistis mengenai imunisasi agar anak tidak mengalami stunting dengan alasan tertentu. Selian itu, pengukuran tinggi badan belum dilakukan dengan tepat. Pengukuran yang seharusnya menurut usia balita, masih ada masyarakat yang mengukur dengan tidak benar. “Untuk mengukur harus validasi data, cara mengukurnya, serta alat ukurnya,” bebernya.
Sementara itu, Peneliti Senior Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, Digna Niken Purwaningrum menuturkan, pemerintah bisa mengintegrasikan program yang sudah dibuat untuk menangani stunting. Misalnya intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif ke dalam program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Guna mengoptimalkan jalur dan proses penyampaian layanan.
Menurut Niken, intervensi gizi spesifik berisi program-program yang menargetkan hal-hal yang secara langsung mempengaruhi status gizi anak. Seperti pemberian makanan tambahan, suplementasi zat gizi mikro, penerapan tata laksana gizi buruk, dan penanganan penyebab penyakit pada anak. “Selain itu ada intervensi gizi sensitif yang bertujuan untuk menangani faktor-faktor yang jadi penyebab mendasar stunting,” tutur Niken.
Penyebabnya, tambah Niken, adalah kondisi kurang gizi, seperti status ketahanan pangan, ketersediaan air dan kebersihan lingkungan, pemberdayaan masyarakat, dan pelaksanaan program keluarga berencana (KB). (eno/pra)