RADAR JOGJA – Beberapa waktu terakhir ini muncul isu soal dampak vape yang menyebabkan seseorang sakit parah di Amerika. Isu-isu tersebut membuat para pengguna vape di Indonesia resah, disusul terbitnya fatwa haram tentang vape oleh Muhammadiyah ada 24 Januari lalu.
Dokter Arifandi Sanjaya mengungkapkan, vape atau rokok elektrik dinilai sebagai salah satu solusi menghentikan kebiasaan merokok. Menurutnya, dibanding rokok, asap vape lebih ramah lingkungan.
“Perubahan yang baik terjadi saat perokok mulai beralih ke vape. Gas buang emisi jauh lebih bagus. Berbeda dengan rokok, vape tidak ada tar dan karbon monoksidanya,” jelasnya dalam acara Road to Invex 2020 #JogjaBerparuNyaman : Truth About Vaping, Sabtu malam (1/2), di Tanjung Sari Ballroom Merapi Merbabu Hotel Sleman.
Karbon monoksida inilah yang membuat orang sesak bernafas dan menjadi salah satu alasan mengapa di ruangan yang penuh asap rokok biasanya tidak nyaman dan sulit bernafas. Sedangkan kandungan tar berdampak membuat banyak bercak di paru-paru.
Arifandi menambahkan, vape memang mengandung nikotin yang bervariasi sehingga lebih memudahkan pengguna tidak adiktif atau kecanduan.
“Vape tetap ada rasa kecanduan tetapi tidak sekuat rokok. Karena variatif akhirnya bisa menurunkan secara perlahan nikotin dan bisa menghentikan vape serta menghilangkan kecanduan nikotin,” paparnya.
Dalam kesempatan tersebut juga dipamerkan hasil rontgen paru-paru pengguna vape. Arifandi pun menyatakan 95 persen hasilnya baik.
Salah satu pelaku industri vape Eko HC mengatakan, hasil rontgen ini digunakan untuk mengklarifikasi sekaligus menangkal isu yang beredar dari Amerika Serikat (AS). Kasus yang terjadi di negara itu karena adanya penyalahgunaan kandungan liquid pelarut yaitu menggunakan THC atau Tetrahydrocannabinol.
“Karena di sana THC legal, banyak remaja usia 13 ke atas menggunakan. Karena harga resminya memang mahal mereka beli ke pengedar lebih murah, akibatnya jatuh korban,” ungkapnya.
Eko berharap ke depan perlu adanya kajian dan dibuka ruang diskusi yang sangat lebar antara pemerintah dengan pelaku industri serta semua elemen.
“Kami baru berdiskusi dengan Kementerian Perekonomian dan Perindustrian. Kami berharap Kementerian Kesehatan membuka diskusi dengan para pelaku industri vape,” katanya.
Mengenai fatwa yang dikeluarkan dari organisasi Muhammadiyah, dia mengaku hal itu sangat baik. Muhammadiyah punya keinginan mengurangi prevalensi perokok.
“Kami punya tujuan yang sama, karena sebenarnya setiap tahun pertumbuhan perokok tetap naik. Data WHO, 225 ribu orang meninggal karena rokok. Meski ada larangan besar-besar di bungkus rokok, yang berhenti cuma 30 persennya saja. Yang berhasil cuma 19 persen,” paparnya.
Faktanya sampai hari ini pertumbuhan jumlah perokok tetap tinggi. Tidak bisa tiba-tiba disuruh berhenti merokok langsung berhenti. Semua butuh solusi.
Salah seorang pengguna vape, Niagara (26) mengaku dulu dirinya saat masih merokok sewaktu bangun tidur nafasnya agak berat. Dua tahun lalu dia beralih ke vape. Sejak itulah nafasnya lebih enteng. Setahun berjalan memakai vape, begitu menyedot rokok rasanya tidak enak lagi. Berat badannya juga naik dari semula mentok pada angka 45 kg menjadi 60 kg.
“Hasil rontgen paru-paru saya bagus,” ujarnya. (ita/tif)